
Jakarta, TeropongJakarta.com – Nama Gianni Brigitta Laurent mungkin belum lama dikenal publik Indonesia, namun kiprahnya sebagai penulis muda mulai mendapat sorotan setelah merilis novel debut berjudul Three Words Left Unsaid. Novel bergenre young adult fiction ini menyoroti isu bullying yang masih menjadi permasalahan serius di kalangan remaja.
Gianni menyelesaikan pendidikan S1-nya di Emerson College, salah satu kampus seni dan komunikasi ternama di Boston, Amerika Serikat. Di kampus inilah ketertarikannya terhadap dunia penulisan fiksi semakin terasah, hingga akhirnya melahirkan karya yang tak hanya menghibur, tapi juga menyentuh isu sosial.
Minat menulis sudah tertanam dalam diri Gianni sejak usia dini. Ia mengenang masa kecilnya yang dipenuhi aktivitas membaca dan menulis cerita pendek, bahkan sejak duduk di bangku taman kanak-kanak. “Dari kecil saya sudah suka menulis. Membaca novel adalah hobi yang kemudian memotivasi saya untuk menciptakan cerita sendiri,” ujar Gianni kepada TeropongJakarta.
Three Words Left Unsaid adalah hasil dari proses kreatif yang berlangsung selama lima hingga enam bulan. Meski tidak mudah, Gianni berhasil menyelesaikan naskahnya dengan dedikasi tinggi. “Kesulitannya adalah menjaga konsistensi. Kadang saya kehabisan ide dan bingung melanjutkan alur, tapi saya terus menulis,” ungkapnya.

Novel ini ditulis dalam gaya fiksi modern dengan narasi yang kuat dan emosi yang mendalam. Meski menggunakan tokoh dan alur rekaan, ide pokoknya sangat nyata: menggambarkan dampak psikologis dan emosional dari tindakan perundungan. “Saya ingin pembaca, terutama remaja, sadar bahwa bullying bisa meninggalkan luka yang panjang,” kata Gianni.
Inspirasi menulis fiksi Gianni banyak dipengaruhi oleh karya-karya Suzanne Collins, penulis novel The Hunger Games. Ia menyukai bagaimana Collins menciptakan dunia fiksi yang unik namun tetap menyampaikan kritik sosial. “Saya penggemar genre science fiction, dan cara Suzanne Collins membangun cerita sangat menginspirasi saya,” ujarnya.
Meski novel perdananya ditulis dalam konteks global, Gianni tidak melupakan akar budayanya sebagai perempuan Indonesia. Ia berencana mengangkat kultur Indonesia dalam karya-karya berikutnya sebagai bentuk promosi budaya ke kancah internasional. “Saya ingin mengeksplor budaya Indonesia dan membawanya ke dunia lewat fiksi,” jelasnya.
Langkah Gianni juga menjadi inspirasi bagi generasi muda Indonesia yang berminat menekuni dunia sastra. Ia membuktikan bahwa karya penulis Indonesia bisa bersaing secara global asalkan memiliki pesan yang kuat dan cara penyampaian yang menarik. “Menulis itu bukan soal bakat semata, tapi soal keberanian menyampaikan suara hati,” katanya.

Dalam dunia literasi modern yang kompetitif, kehadiran penulis muda seperti Gianni membawa angin segar. Ia menampilkan kombinasi antara gaya bercerita yang kontemporer dan nilai-nilai sosial yang relevan. Tema bullying, misalnya, menjadi sangat penting di tengah maraknya kasus perundungan yang kerap tidak terlaporkan.
Melalui Three Words Left Unsaid, Gianni ingin menyentuh hati para pembaca dan mengajak mereka untuk lebih peduli terhadap lingkungan sosial, terutama dalam hal membangun empati kepada korban bullying. Novel ini tidak hanya menghibur, tetapi juga menjadi medium edukasi dan refleksi bagi kaum muda.
Gianni juga memberikan pesan motivasi kepada para pemuda Indonesia yang sedang mengejar mimpi. “Keep following your dreams. Jangan pernah menyerah, tetap konsisten, karena mimpi tidak akan terwujud jika kita berhenti di tengah jalan,” pesannya.
Kini, dengan semangat yang menyala, Gianni Brigitta Laurent melangkah mantap sebagai penulis muda Indonesia yang siap mengharumkan nama bangsa melalui karya sastra. Dengan bakat, visi, dan komitmen sosialnya, ia adalah representasi dari suara generasi baru yang berani, peduli, dan tak ragu untuk bersuara melalui tulisan.