
Jakarta, TeropongJakarta.com – Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendikti Saintek) berencana melakukan efisiensi anggaran sebesar Rp14,3 triliun dari pagu awal Rp56,607 triliun. Langkah ini dilakukan untuk menyeimbangkan pengeluaran negara, namun dampaknya bisa langsung dirasakan oleh mahasiswa. Jika rencana ini direalisasikan, biaya kuliah di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) kemungkinan akan mengalami kenaikan.
Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Satryo Soemantri Brodjonegoro, mengungkapkan bahwa pemotongan ini akan sangat mempengaruhi Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN). Selama ini, BOPTN digunakan untuk membantu universitas dalam menekan biaya operasional agar tetap terjangkau bagi mahasiswa.
“Jika BOPTN mengalami pemangkasan hingga 50%, maka universitas tidak memiliki pilihan selain menyesuaikan biaya kuliah. Kami memahami kekhawatiran mahasiswa, tetapi ini adalah bagian dari penyesuaian fiskal yang harus dilakukan,” jelas Satryo, Sabtu (17/2).
Selain itu, pemotongan anggaran juga berdampak pada Biaya Penyelenggaraan Pendidikan (BPP) yang dikelola oleh PTN Berbadan Hukum (PTN-BH). Karena PTN-BH memiliki keleluasaan dalam mengelola keuangan, mereka kemungkinan akan menyesuaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) guna menutupi kebutuhan operasional yang meningkat.
Perguruan Tinggi Swasta (PTS) juga tak luput dari dampaknya. Anggaran bantuan untuk PTS dipangkas hingga 50%, dari pagu awal Rp365,3 miliar. Padahal, banyak PTS yang bergantung pada bantuan ini untuk menjaga stabilitas biaya operasional.
Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI), Agus Wiranto, menyatakan bahwa pemotongan ini bisa berdampak buruk bagi kampus swasta.
“Sebagian besar PTS tidak memiliki sumber pendapatan lain selain dari biaya kuliah mahasiswa. Jika subsidi pemerintah dipangkas, tentu beban akan dialihkan ke mahasiswa. Kami berharap pemerintah bisa meninjau kembali kebijakan ini,” tegas Agus.
Di sisi lain, mahasiswa mulai menyuarakan kekhawatiran mereka. Banyak yang merasa kebijakan ini bisa menjadi penghalang dalam melanjutkan pendidikan tinggi, terutama bagi mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu.
Nadira Putri, mahasiswa semester 4 di salah satu PTN di Yogyakarta, mengaku resah dengan potensi kenaikan UKT.
“Saya berasal dari keluarga menengah ke bawah, dan orang tua saya sudah kesulitan membayar UKT saat ini. Jika biaya kuliah naik, saya tidak tahu apakah masih bisa lanjut kuliah atau harus berhenti,” ujarnya.
Menanggapi polemik ini, Kemendikti Saintek menyatakan bahwa mereka tengah berupaya mencari solusi agar dampak pemotongan anggaran tidak terlalu besar. Salah satu langkah yang dipertimbangkan adalah menyesuaikan skema bantuan pendidikan, sehingga mahasiswa tetap mendapatkan subsidi atau keringanan biaya.
“Kami memahami kekhawatiran mahasiswa dan orang tua. Saat ini, kami sedang mencari cara agar dampak dari efisiensi anggaran ini bisa ditekan seminimal mungkin. Salah satunya dengan mengalokasikan dana dari sektor lain untuk pendidikan tinggi,” ujar Joko Pranoto, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi.
Selain itu, pemerintah juga meminta perguruan tinggi untuk melakukan efisiensi anggaran dan lebih kreatif dalam mencari sumber pendapatan baru. Kampus didorong untuk menjalin kerja sama industri, penguatan riset, dan optimalisasi aset kampus sebagai langkah alternatif dalam menghadapi keterbatasan dana dari pemerintah.
Namun, para ekonom memperingatkan bahwa pemotongan anggaran ini bisa berdampak negatif pada kualitas pendidikan tinggi di Indonesia. Dr. Adrian Kusuma, seorang ekonom pendidikan dari Universitas Indonesia, menilai bahwa pemerintah perlu mempertimbangkan dampak jangka panjang dari kebijakan ini.
“Memotong anggaran pendidikan bisa berdampak serius pada kualitas SDM di Indonesia. Jika mahasiswa kesulitan mengakses pendidikan tinggi, dampaknya tidak hanya pada individu, tetapi juga pada daya saing bangsa secara keseluruhan,” jelasnya.
Kemendikti Saintek sendiri telah mengajukan usulan agar pemotongan anggaran tidak sebesar yang direncanakan. Hingga kini, pemerintah masih dalam tahap diskusi dan evaluasi terkait dampak kebijakan ini.
Sementara itu, mahasiswa dan masyarakat diharapkan tetap mengikuti perkembangan ini agar bisa memahami langkah-langkah yang diambil pemerintah dalam menjaga keseimbangan biaya pendidikan tinggi di Indonesia.
“Kami harap keputusan yang diambil nanti tetap berpihak pada akses pendidikan yang terjangkau bagi semua,” tutup Menteri Satryo.