
Lamongan, TeropongJakarta.com – Di balik wajah tenangnya, Nuriza Mahesti Putri Ifanda menyimpan kegigihan yang jarang terdengar. Tahun 2023 menjadi tahun yang sibuk, melelahkan, sekaligus menentukan. Dari ruang-ruang rapat organisasi hingga panggung duta wisata, ia menjelajah bukan demi pencapaian semata, tetapi untuk mengenali dirinya.
Mahasiswa Universitas Airlangga ini memulai langkah dengan bergabung di Badan Eksekutif Mahasiswa. Sebuah ruang yang penuh suara, debat, dan tekanan. Tapi dari sanalah ia belajar arti keberanian. “Saya sempat merasa kecil,” ujarnya. “Namun saya sadar, semua orang hebat juga pernah merasa takut.”
Tak hanya di lingkaran politik kampus, Mahesti merambah ke Unit Kegiatan Mahasiswa Kependudukan. Dunia yang lebih tenang, namun justru membuka mata batinnya. Di sana, ia membaca angka kelahiran, membedah isu remaja, dan menulis edukasi sosial. “Dari data, saya belajar empati,” katanya.

Bagi Mahesti, aktif di organisasi bukan tentang sibuk, melainkan tentang sadar. Ia tak ingin jadi mahasiswa pasif yang hanya mengejar IPK. “Saya ingin terlibat,” tuturnya. “Karena keterlibatan itu melatih saya menjadi warga yang berpikir.” Maka ia pun bergabung dalam berbagai kepanitiaan, dari seminar kampus hingga kegiatan sosial.
Namun perjalanan itu tidak selalu mulus. Pernah, ia merasa kehilangan arah. Aktivitas yang padat justru membuatnya lupa bernapas. “Saya sempat merasa hampa, seolah hanya menjalani rutinitas,” katanya. Di situlah ia mulai belajar seni mengatur energi dan memilih prioritas.
Puncaknya adalah saat ia berdiri sebagai finalis Duta Wisata Yak Yuk Lamongan 2023. Bagi sebagian, ini hanya soal catwalk dan kostum. Tapi bagi Mahesti, ini adalah ruang pembuktian bahwa perempuan muda bisa mewakili daerahnya dengan gagasan. “Saya ingin membicarakan budaya Lamongan bukan hanya sebagai warisan, tapi sebagai masa depan.”
Ia menghafal sejarah wisata, melatih diksi, hingga memahami etika panggung. Tapi pelajaran terbesarnya datang dari dalam: kepercayaan diri. “Saya tidak ingin sekadar tampil cantik. Saya ingin menjadi perempuan yang didengar,” ucapnya.

Dari berbagai peran yang ia jalani, Mahesti memahami bahwa pengembangan diri bukan proses linier. Ia tumbuh, jatuh, belajar, dan tumbuh lagi. “Yang saya kejar bukan kesempurnaan, tapi keutuhan,” katanya. Ia tidak ingin menjadi pribadi serba bisa, tapi pribadi yang sadar akan prosesnya.
Teman-temannya mengenalnya sebagai sosok aktif dan tangguh. Tapi ia tahu, kekuatan sejati terletak pada keberanian untuk terus mengevaluasi diri. “Saya mulai belajar menerima bahwa tidak semua hal bisa dikendalikan, tapi saya bisa belajar dari semuanya,” katanya.

Kini, ia tak lagi tergesa menumpuk kegiatan. Ia mulai menanam nilai, bukan sekadar pengalaman. “Saya ingin bertumbuh dengan arah, bukan dengan ambisi,” ujarnya pelan. Ia tidak ingin dikenang sebagai Nuriza Mahesti Putri Ifanda yang sibuk, tapi sebagai Nuriza Mahesti Putri Ifanda yang sadar.
Dunia kampus suatu hari akan selesai. Tapi Nuriza Mahesti Putri Ifanda yakin, bekal paling penting bukan di lembar ijazah, melainkan dalam ingatan tentang bagaimana ia pernah jatuh dan bangkit, takut dan melawan, sunyi dan tetap melangkah.