
Jogja, TeropongJakarta.com – Dalam sebuah kamar di sudut kota Jogja, Nabila Sofiarani pernah menghabiskan berhari-hari hanya dengan menatap langit-langit. Di ruang sunyi itu, ia mencoba menjahit kembali hatinya yang koyak oleh pengkhianatan dan kekerasan yang tak pernah ia bayangkan datang dari orang terdekat.
Titik terendah dalam hidup Nabila bukan sekadar perceraian. Tapi pengkhianatan yang ia saksikan dengan mata kepala sendiri. “Sebenarnya, penggerebekan terjadi bukan hanya sekali. Kejadian pertama terjadi di kos suami dan saya datang bersama polisi. Rasanya hati saya sudah remuk ketika melihat kenyataan yang tak pernah saya bayangkan. Setelah itu, saya memilih untuk pulang ke rumah orangtua dan pisah rumah demi menenangkan diri.” Ujarnya
Saya pulang bersama kedua anak saya dengan membawa baju seadanya. Tapi entah apa yang mendorong saya waktu itu, saya memberanikan diri pulang ke kontrakan sekadar ingin mengambil baju dan menemani anak-anak bertemu bapaknya barang sebentar. Mereka sudah hampir dua bulan tidak melihat bapaknya sejak kami pisah rumah. Maka dalam hati, saya mencoba memberinya kesempatan. Saya hanya ingin anak-anak tetap bisa merasakan kehadiran seorang ayah.

Tapi saya sama sekali tidak siap dengan apa yang saya temukan. Mereka masih saja bersama. Di rumah kontrakan kami sendiri. Rumah yang dulu kami bangun dengan susah payah, yang saya kira bisa menjadi tempat aman untuk anak-anak.
Saat itu rasanya hati saya benar-benar hancur. Karena setelah penggerebekan pertama, kami sudah membuat surat perjanjian di depan polisi. Ada janji yang katanya tidak akan diingkari lagi. Saya sempat mencoba memaafkan, berharap keadaan bisa diperbaiki, meski pelan-pelan. Tapi ternyata, hanya butuh waktu dua bulan untuk mengulang pengkhianatan yang sama.
Di momen itulah saya sadar, tidak ada lagi yang bisa diselamatkan. Tidak ada lagi alasan untuk bertahan. Semua kepercayaan, semua rasa hormat, semua upaya memaafkan sudah habis. Demi harga diri saya sendiri, demi ketenangan hati, dan demi masa depan anak-anak, saya memutuskan ini saatnya selesai. Saatnya benar-benar pergi.

“Rasanya mental, psikis, fisik, semua dihajar habis-habisan,” kata Nabila lirih, mengenang masa-masa kelam itu. Tubuhnya susut drastis. Berat badannya turun. Kepalanya penuh pikiran gelap, termasuk keinginan mengakhiri hidup.
Ia menjalani hipnoterapi untuk menenangkan pikirannya yang kalut. Tapi bahkan setelah sesi terapi, badai tak serta-merta reda. Proses perceraian memakan waktu enam bulan. Setiap jadwal sidang menjadi pengingat luka yang belum sembuh. Energi, waktu, dan harga diri terkuras habis.
Di usia 28 tahun, Nabila berstatus janda dengan dua balita. Selama pernikahan, ia tak bekerja di luar rumah. Semua waktunya tercurah untuk anak-anak. Ketika rumah tangga runtuh, ia merasa tak punya apa pun: tidak penghasilan, tidak kepercayaan diri, bahkan tidak keberanian untuk keluar kamar.

Sebulan penuh pascacerai, Nabila mengurung diri. Hanya sahabat-sahabat terdekat yang tahu ia sudah sendiri. “Aku malu, insecure banget. Rasanya nggak sanggup ketemu keluarga lain yang masih lengkap,” ujarnya.
Namun di sela keputusasaan itu, ada sekelebat kesadaran. Ia ingat anak-anaknya. Ia ingat orang tuanya yang setia menunggui dari jauh. Dan ia ingat bahwa perpisahan itu adalah keputusannya sendiri keputusan yang berat tapi perlu.
Dengan sepotong keberanian, ia mengunggah sebuah konten yang menceritakan bahwa dirinya kini seorang single mom. Awalnya, ia mengira kabar itu akan memancing cibiran. Tapi yang terjadi justru sebaliknya: ratusan ribu orang menonton dan menyemangati.
Itulah titik balik. Pelan-pelan, ia mulai menulis lagi. Mulai merekam keseharian. Mulai memulihkan kepercayaan diri yang lama hilang. Tak disangka, banyak warganet jatuh hati pada gaya bercerita dan editing videonya yang jujur dan menyentuh.
Satu demi satu peluang datang. Brand-brand lokal mulai menawarkan kerja sama. Endorse produk, ulasan toko, hingga jasa editing video. Semuanya ia jalani di sela pekerjaan rumah: mengantar anak sekolah dan menemani bermain si buah hatinya.

Suatu hari, tanpa ia sadari, namanya mendadak viral. Sebuah video potongan kajian ustad Aa Hilman yang menyinggung kisahnya ditonton hampir tiga juta kali. Ribuan komentar membanjiri akun media sosialnya. Doa-doa tulus datang dari orang yang tak pernah ia temui.
“Jujur, gemetar bacanya. Terharu banget. Aku pikir cerita ini sudah lewat, tapi ternyata masih banyak orang yang tersentuh,” katanya.
Nabila meyakini, energi yang kita tanam akan kembali pada kita. Dulu, saat ia masih penuh dendam dan amarah, hidup terasa buntu. Tapi ketika ia mulai memaafkan, melepaskan, dan berdamai, pintu rezeki terbuka satu per satu.
Kepada perempuan yang sedang berada di jurang gelap, ia berpesan: tak perlu terburu-buru bangkit. Rasakan dulu sedihmu. Nikmati proses sembuh, sepelan apa pun langkahmu. Sebab di luar sana, ada orang-orang yang menunggu senyummu kembali merekah.
Bagi yang belum menikah atau sedang berumah tangga, Nabila menekankan satu hal: jadilah perempuan berdaya. Jangan jadikan pernikahan sebagai alasan berhenti bermimpi. Tetaplah mengasah kemampuan, sekecil apa pun. Karena masa depan tak pernah bisa ditebak.
Hari ini, Nabila masih sama: seorang ibu dua anak, seorang perempuan yang pernah terpuruk. Bedanya, kini ia berdiri tegak dengan senyum lebih tulus. Baginya, perceraian bukan kegagalan. Melainkan pintu menuju hidup yang lebih jujur, lebih damai, dan lebih dekat dengan Sang Pemilik Hidup.