Tasikmalaya, TeropongJakarta.com – Dalam dunia olahraga, jeda kerap dipersepsikan sebagai kemunduran. Namun bagi Resya Nabila, jeda justru menjadi ruang belajar paling penting dalam hidupnya. Perempuan asal Tasikmalaya ini pernah menjadikan senam trampolin sebagai pusat aktivitas, identitas, sekaligus sumber penghidupan. Hingga cedera lutut memaksanya berhentidan menata ulang seluruh ritme hidup.
Sejak 2022, Resya aktif sebagai instruktur senam trampolin. Awalnya, semua berangkat dari kegemaran pribadi. Ia rutin mengikuti latihan, bahkan kerap mengambil dua kelas dalam satu hari. Intensitas itu berujung pada pelatihan profesional dan sertifikasi instruktur. Dari sana, trampolin tak lagi sekadar hobi. Dalam satu hari, Resya bisa membuka hingga empat kelas, menjadikannya pekerjaan utama.
“Trampolin membentuk banyak hal dalam hidup saya, bukan hanya fisik, tapi juga mental dan disiplin,” ujar Resya. Aktivitas tersebut menjadi poros keseharian sekaligus ruang aktualisasi diri.

Namun tubuh memiliki batas. Cedera lutut yang dialaminya menjadi alarm keras. Resya akhirnya memutuskan vakum dari trampolin dan olahraga berat lainnya. Keputusan itu bukan perkara sederhana. Ia harus merelakan dua hal sekaligus: hobi yang dicintai dan pekerjaan yang dibangun dari proses panjang.
“Tantangan terberatnya bukan soal berhenti olahraga, tapi menerima kenyataan bahwa saya harus meninggalkan sesuatu yang selama ini menjadi bagian dari hidup,” katanya.
Tahun ini, Resya memilih kembali bergerak dengan pendekatan berbeda. Ia mulai bersepeda dan berlari dua olahraga yang relatif ringan untuk fase pemulihan. Bagi Resya, keduanya bukan sekadar alternatif, melainkan pintu masuk untuk membangun ulang kekuatan fisik tanpa tekanan profesional.
Menariknya, ia memilih bersepeda fixie, jenis sepeda yang menuntut kontrol dan ketahanan tinggi. “Mungkin karena dari dulu saya memang menyukai olahraga yang menantang,” ujarnya. Pilihan itu sekaligus mematahkan stereotip bahwa cabang olahraga tertentu hanya identik dengan laki-laki.

Peralihan dari olahraga dalam ruangan ke luar ruangan menghadirkan sensasi baru. Jika trampolin berlangsung dalam ruang tertutup dengan pola gerak terukur, bersepeda dan lari memberi kebebasan lanskap dan ritme. Meski berbeda, Resya melihatnya sebagai proses berkelanjutan. Ia meyakini, ketika fisiknya telah kembali stabil, kembali ke trampolin bukanlah hal yang berat.
Kecenderungan Resya pada olahraga menantang bukan hal baru. Ia pernah menekuni surfing, mengikuti kompetisi, bahkan meraih juara. Namun cabang itu ia tinggalkan karena dampaknya terhadap kesehatan kulit. Pengalaman tersebut memperkaya perjalanan olahraganya bahwa keberanian juga berarti tahu kapan harus berhenti.
Di tengah pemulihan, Resya belajar satu hal penting: mendengarkan tubuh. Baginya, jeda bukan akhir, melainkan strategi untuk bertahan lebih lama. “Berhenti sementara bukan berarti kalah,” katanya. “Kadang itu justru cara agar kita bisa kembali lebih kuat.”
