
Banyumas, TeropongJakarta com – Menjadi Pekerja Migran Indonesia (PMI) bukanlah pilihan yang mudah. Purwaty, seorang wanita asal Desa Kanding, Kecamatan Somagede, Kabupaten Banyumas, telah merasakan pahit-manisnya bekerja di negeri orang sejak 2009. Awalnya, keinginannya menjadi PMI hanya untuk menambah pengalaman dan memperbaiki kondisi ekonomi keluarga.
“Dulu susah sekali cari kerja di desa, apalagi saya tidak punya pengalaman. Saya hanya modal nekat. Ibu saya sempat tidak mengizinkan, tapi bapak mendukung. Akhirnya, saya berangkat saat masih muda dan belum menikah,” ujar Purwaty mengenang awal perjalanannya sebagai PMI.
Setelah beberapa tahun bekerja di luar negeri, Purwaty pulang ke Indonesia, menikah, dan memiliki seorang anak. Ia mencoba bekerja di pabrik wig selama lima tahun, tetapi pandemi COVID-19 membuat pendapatan anjlok. Tekanan ekonomi ditambah hinaan dari orang sekitar membuatnya mengambil keputusan besar: kembali menjadi PMI di Singapura.

Keputusan bekerja kembali sebagai PMI kali ini terasa jauh lebih berat. Jika dulu ia pergi sebagai perempuan lajang, kini ia meninggalkan anak yang masih kecil.
“Awal-awal berat sekali. Hampir setiap malam saya menangis karena kangen anak. Mau telepon pun susah karena pas saya istirahat, anak sudah tidur. Satu-satunya cara ya melihat fotonya. Itu jadi motivasi saya. Saya harus bisa mengubah nasib. Saya ingin pulang dengan sukses, memastikan anak saya punya masa depan dan tidak kekurangan secara finansial,” katanya dengan suara bergetar.
Namun, seiring berjalannya waktu, Purwaty mulai beradaptasi. Kini, ia bersyukur karena majikan barunya memberinya kebebasan menggunakan ponsel.
“Alhamdulillah, sekarang bisa pantau anak 24 jam. Saya pastikan dia tidak merasa kekurangan. Apa pun yang dia minta, saya usahakan. Saya memang tidak bisa melihat tumbuh kembangnya secara langsung, tapi saya percaya orang tua saya merawatnya dengan baik,” tambahnya.

Purwaty juga menyoroti fenomena PMI yang baru bekerja beberapa hari tetapi sudah meminta pulang ke Indonesia. Menurutnya, banyak orang yang tergiur dengan postingan di media sosial tanpa memahami kenyataan di lapangan.
“Jangan mudah tergoda melihat video atau postingan orang yang kelihatan bahagia di luar negeri. Mereka hanya menampilkan sisi baiknya saja. Kerja di luar negeri itu butuh mental kuat. Siapkan fisik dan mental, setelah itu semua akan berjalan normal. Mental nomor satu!” tegasnya.
Bagi mereka yang sudah cukup lama bekerja dan berhasil mengubah nasib, Purwaty juga berpesan agar mempertimbangkan untuk kembali ke Indonesia.
“Kalau sudah merasa cukup, pulanglah. Ada keluarga yang menunggu,” katanya dengan haru.

Purwaty berharap pemerintah lebih memperhatikan kesejahteraan anak-anak yang ditinggalkan oleh PMI. Ia menilai dukungan sosial dan emosional sangat penting agar anak-anak ini tidak merasa kesepian dan terasing.
“Pemerintah harus memastikan regulasi yang melindungi hak-hak PMI, termasuk akses kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan bagi anak-anak mereka. Beasiswa, layanan kesehatan gratis, dan konseling psikologis untuk anak-anak PMI sangat dibutuhkan. Selain itu, perlu ada pelatihan bagi keluarga yang merawat anak PMI agar mereka bisa memberikan dukungan emosional yang cukup,” ujarnya.
Ia juga menekankan pentingnya pengelolaan remitansi agar tidak hanya habis untuk konsumsi, tetapi bisa menjadi investasi masa depan bagi anak-anak PMI.
“Support dari keluarga itu sangat penting. Jangan mudah putus asa, tetap optimis bisa mengubah nasib demi masa depan anak dan keluarga yang lebih baik,” pungkasnya.