Jakarta, TeropongJakarta.com – Hari Raya Nyepi, yang dikenal sebagai momen ketenangan dan introspeksi bagi umat Hindu di Bali, memiliki akar dalam tradisi khas dan mitologi Hindu. Berdasarkan bahasa Sanskerta, Nyepi berarti “diam” atau “tidak berbicara”, mencerminkan keheningan yang mendalam yang menggambarkan penghormatan terhadap Tahun Baru Saka, yang biasanya jatuh pada bulan Maret.

Sejarah Nyepi terkait erat dengan kisah Bhuta Kala dalam mitologi Hindu. Dewa Siwa menciptakan Batara Kala, yang berkembang menjadi Bhuta Kala, sebagai pelindung alam semesta. Kekuatan Bhuta Kala tumbuh tak terkendali, mengancam keseimbangan dunia. Dewa Indra dan dewa lainnya memutuskan untuk menundukkan Bhuta Kala melalui pertempuran sengit. Setelah berhasil dikalahkan, Bhuta Kala bersedia meninggalkan Bali setiap tahunnya selama satu hari sebagai bentuk pertobatan.

Perayaan Nyepi dimulai dengan Melasti, upacara pembersihan dan penyucian, di mana umat Hindu membawa pusaka dan patung dewa-dewa ke pantai untuk dimandikan. Ritual ini melambangkan penyucian jiwa dan pikiran sebelum memasuki tahun yang baru.

Puncak perayaan terjadi pada hari Nyepi, di mana pulau Bali sepenuhnya meredup selama 24 jam. Tidak ada aktivitas di luar rumah, termasuk transportasi umum dan bisnis. Umat Hindu menjalani hari ini dengan berpuasa, merenung, dan menghindari hiburan. Lampu di rumah-rumah dimatikan, menciptakan suasana ketenangan dan keheningan yang khas Bali.

Nyepi menjadi momen refleksi dalam ketenangan, mengintrospeksi diri, dan merayakan makna sejati dari Hari Raya Nyepi. Proses ini dianggap sebagai langkah awal untuk menjaga keselarasan dan keseimbangan alam semesta, sambil bersiap menghadapi tahun baru dengan jiwa suci dan pikiran yang jernih.