
Blitar, TeropongJakarta.com – Dari Blitar menuju padang pasir, Mareta Rara Sintatia tak hanya membawa gelar bidan, tetapi juga semangat perempuan Indonesia yang ingin belajar, bekerja, dan merawat dunia dengan penuh kelembutan.
Mareta Rara Sintatia, perempuan asal Blitar, Jawa Timur, saat ini bekerja sebagai asisten dokter dermatologi di Arab Saudi. Meskipun latar belakang pendidikannya adalah kebidanan, ia kini lebih dikenal sebagai perawat di bidang kecantikan kulit (dermatologi). “Saya sering bingung sendiri, saya ini bidan atau perawat,” ujarnya sambil tertawa saat di hubungi teropongjakarta.
Di klinik tempatnya bekerja, Rara bukan hanya menjadi asisten dokter. Ia kerap menangani prosedur perawatan seperti laser hingga face bleaching. “Kalau pasien sedang ramai, saya bisa langsung meng-cover bagian laser atau face bleaching,” katanya. Tugas itu dilakukan dengan profesionalisme tinggi, demi menjaga kenyamanan pasien.

Rara memiliki prinsip sederhana tapi kuat: membuat pasien merasa nyaman dan senang. Ia menerapkan cara komunikasi soft spoken, selalu tersenyum, menjaga privasi pasien, dan bahkan sering memuji penampilan mereka. “Sebagai tenaga kesehatan, kita harus tahu cara membangun kepercayaan pasien,” ujarnya.
Sebelum bekerja di Arab Saudi, Rara sempat bekerja di Singapura, negara maju yang menurutnya sangat menekankan standar prosedural. “Di sana, semua harus sesuai dengan SOP. Dan perawat perempuan memiliki peran penting karena mereka bisa merawat pasien laki-laki, tidak seperti perawat laki-laki yang hanya untuk pasien sesama jenis,” jelasnya.
Pengalaman di Singapura menjadi bekal penting saat ia pindah ke Arab Saudi. Di negeri gurun ini, ia tetap bisa menangani pasien pria selama prosedur medis tidak berkaitan dengan area sensitif. “Yang penting adalah profesionalitas dan tahu batasan,” katanya menegaskan.

Menjadi perawat di luar negeri, jauh dari keluarga, bukan perkara mudah. Tantangan emosional terbesar baginya adalah ketika anak atau orang tuanya sakit. “Kadang saya menangis diam-diam. Tapi saya tetap harus kuat,” katanya. Meski ada fasilitas cuti darurat, Rara bersyukur sejauh ini keluarganya hanya mengalami sakit ringan seperti flu dan batuk.
Untuk mengobati rindu dan menjaga kedekatan, Rara selalu menyempatkan waktu untuk video call setiap hari. Bahkan saat bekerja dan tak ada pasien, ia menyempatkan melihat anaknya lewat CCTV. “Bahkan saat dia tidur pun, saya pantau dari jauh,” tuturnya dengan mata berkaca.
Setiap tahun, ia mengambil cuti selama 30 hari untuk pulang ke Indonesia. Waktu yang ia manfaatkan sepenuhnya untuk berkumpul dengan keluarga tercinta. “Itu masa paling berharga buat saya,” ujarnya.

Bekerja sebagai tenaga kesehatan di luar negeri juga memberinya peluang spiritual. Saat hari libur, ia bisa berkunjung ke Mekkah dan Madinah. “Itu bonus dari kerja keras. Saya bisa ibadah di tempat suci,” kata Rara.
Ia berharap kisah hidupnya bisa menjadi inspirasi bagi perempuan muda Indonesia, terutama para bidan dan perawat yang ragu mengambil langkah besar. “Jangan takut kerja di luar negeri. Gaji lumayan, pengalaman berharga, dan bisa bantu keluarga,” katanya memberi semangat.
Mareta Rara Sintatia adalah potret nyata tenaga kesehatan perempuan Indonesia yang sukses di luar negeri. Di balik seragam putihnya, ada keberanian, ketekunan, dan cinta yang tak pernah putus untuk keluarga dan negeri. Ia adalah wajah Indonesia yang bekerja diam-diam, penuh pengabdian, dari Blitar hingga Timur Tengah.