“Kenapa Harus Perempuan”: Buku Berani yang Membongkar Ketimpangan Gender di Masyarakat

Ngawi, TeropongJakarta.com – Apriliana Soekir, seorang pegiat seni asal Ngawi, Jawa Timur, terus berjuang menyuarakan hak-hak perempuan melalui tulisan-tulisannya. Lahir pada 29 April 1999, ia menggunakan puisi, cerpen, dan buku sebagai medium untuk mengungkapkan realitas sosial yang dialami perempuan dalam berbagai aspek kehidupan. Karyanya bukan sekadar tulisan, melainkan bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan yang masih mengakar kuat.

Salah satu bukunya yang berjudul Kenapa Harus Perempuan menjadi sorotan publik karena berani membongkar ketimpangan gender dalam masyarakat. Buku ini tidak hanya membahas bagaimana perempuan sering kali dibatasi haknya, tetapi juga mengajak pembaca untuk lebih memahami dan berempati terhadap pengalaman yang dihadapi perempuan di berbagai lini kehidupan.

Apriliana juga aktif menulis puisi dan cerpen yang telah dimuat di berbagai media nasional. Puisi-puisinya seperti Pelukan Sunyi dan Bergulat dengan Rindu diterbitkan di harian Fajar Makassar, sementara puisi Sederhana, Kepada Ruang Singgah, dan Teropong Waktu pernah tayang di Suara Merdeka. Sebaran karya-karyanya di berbagai platform menunjukkan bahwa suaranya semakin luas didengar.

Dalam wawancara eksklusif dengan TeropongJakarta.com, Apriliana menceritakan bagaimana lingkungan tempat ia dibesarkan membentuk perspektifnya tentang ketidakadilan gender. Ia tumbuh di lingkungan yang masih kuat dengan budaya patriarki, di mana perempuan kerap dianggap sebagai pihak yang harus tunduk dan menerima keadaan.

“Saya melihat sendiri bagaimana perempuan di sekitar saya menikah di usia muda karena tekanan ekonomi dan sosial. Mereka mengorbankan impian dan pendidikan demi memenuhi ekspektasi masyarakat. Dari situlah saya terdorong untuk menulis buku ini, agar lebih banyak orang yang menyadari bahwa perempuan berhak menentukan jalan hidupnya sendiri,” ujar Apriliana.

Apriliana menyoroti bahwa ketidakadilan terhadap perempuan terjadi dalam berbagai bentuk, mulai dari aturan sosial yang membatasi kebebasan mereka hingga cara perempuan sering kali diobjektifikasi dalam budaya populer. Ia menegaskan bahwa kesetaraan gender bukanlah ancaman bagi laki-laki, melainkan langkah untuk menciptakan keseimbangan yang lebih adil.

Selain itu, pengalaman hidup di lingkungan yang religius juga memberinya banyak perspektif mengenai posisi perempuan dalam kehidupan sosial dan spiritual. Menurutnya, meskipun agama mengajarkan untuk memuliakan perempuan, banyak pihak yang justru menggunakan agama sebagai alat pembatasan.

“Yang paling menyedihkan adalah ketika ajaran agama disalahgunakan untuk menekan perempuan. Padahal, jika kita melihat kembali ajaran yang sebenarnya, perempuan seharusnya mendapatkan penghormatan yang setara,” tambahnya.

Apriliana percaya bahwa perubahan tidak dapat terjadi tanpa adanya solidaritas di antara sesama perempuan. Ia mengajak kaum perempuan untuk saling mendukung, bukan justru saling menjatuhkan. Menurutnya, perjuangan ini bukan tentang melawan laki-laki, melainkan melawan sistem yang tidak adil.

“Kita harus menciptakan ruang aman bagi perempuan, di mana mereka bisa berbicara tanpa takut dihakimi. Jika kita ingin perubahan, kita harus mulai dari saling menguatkan,” tegasnya.

Lebih lanjut, Apriliana mengingatkan bahwa perempuan memiliki peran besar dalam membentuk peradaban. Oleh karena itu, penting bagi mereka untuk menyadari potensi dan hak-hak mereka sendiri. Ia menekankan bahwa semakin banyak perempuan yang berani bersuara, semakin besar pula peluang untuk menciptakan perubahan nyata dalam masyarakat.

Melalui tulisan-tulisannya, Apriliana berupaya meninggalkan jejak yang berarti. Ia berharap generasi perempuan berikutnya bisa tumbuh dengan lebih banyak kebebasan dan lebih sedikit batasan, sehingga mereka dapat berkembang menjadi individu yang mandiri dan berdaya.

Di tengah arus perubahan zaman, Apriliana tetap optimis bahwa kesadaran akan hak-hak perempuan akan terus meningkat. Meskipun perjuangan masih panjang, ia percaya bahwa perlahan tetapi pasti, pola pikir masyarakat akan berubah.

Ia juga menekankan bahwa perlawanan terhadap ketidakadilan tidak harus selalu dilakukan dengan aksi besar. Terkadang, satu tulisan, satu cerita, atau satu puisi dapat menyentuh hati banyak orang dan membawa perubahan yang lebih luas.

“Saya percaya bahwa kata-kata memiliki kekuatan. Dengan menulis, saya ingin membuka mata lebih banyak orang terhadap realitas yang selama ini tersembunyi,” katanya.

Apriliana Soekir bukan hanya seorang penulis, tetapi juga seorang pejuang yang menggunakan kata-katanya sebagai senjata. Ia berharap bisa terus menginspirasi perempuan lain untuk tidak takut bersuara dan melawan ketidakadilan yang mereka alami.

Semangatnya dalam memperjuangkan hak-hak perempuan tidak akan padam. Ia yakin bahwa selama masih ada perempuan yang berani bersuara, harapan untuk dunia yang lebih adil akan selalu ada.

“Perubahan dimulai dari satu suara. Saya telah memilih untuk bersuara, dan saya tidak akan berhenti,” tutup Apriliana dengan penuh keyakinan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *