
Tebet, TeropongJakarta.com – Sepulang kerja di kawasan Jakarta Selatan, Novlin Claudi tak pernah punya rencana besar. Tidak ada agenda nongkrong, tidak pula janji temu dengan teman. “Awalnya iseng aja,” katanya pelan. “Abis kerja bingung mau kemana, akhirnya jalan santai di sekitar Tebet.”
Langkah kecil itu ternyata membawa perubahan besar. Dari sekadar berjalan santai, Novlin mulai berlari pelan. Nafasnya terengah, jantungnya berdetak cepat, tapi ada rasa aneh yang ia nikmati. “Waktu itu ngos-ngosan banget. Tapi setelahnya, malah pengin coba lagi,” ujarnya sambil tertawa.
Hari-hari berikutnya, kebiasaan itu tak lagi terasa iseng. Ia mulai menunggu momen sore datang. Jalanan Tebet yang semula hanya tempat lewat, kini berubah jadi lintasan pelarian. “Tiba-tiba aku jadi rajin lari,” katanya. “Eh, lama-lama jadi pelari kalcerr.”

Jakarta Selatan yang identik dengan kemacetan, rapat berjam-jam, dan tumpukan pekerjaan membuat siapa pun mudah sesak. Tapi bagi Novlin, tekanan itu justru menjadi alasan untuk berlari. “Di balik banyaknya tekanan dan riwehnya pekerjaan, lari adalah pelarian terbaik,” ujarnya mantap.
Bukan hanya fisiknya yang berubah, pikirannya pun ikut segar. Ia mengaku dulu sering merasa jenuh, terutama saat seharian di kantor dan malamnya hanya diam di kos. Kini, tubuhnya lebih bugar meski pola makan masih berantakan. “Ternyata hidup lebih indah kalau nggak di kos mulu,” katanya sambil tersenyum.
Ia mengingat betul momen pertamanya mencoba lari sejauh satu kilometer. Baru lima menit, ia sudah hampir menyerah. Tapi ia terus memaksa diri, hingga akhirnya bisa menyelesaikan lintasan itu. “Ternyata aku bisaa!” ucapnya bangga, mengenang masa itu.

Perlahan, langkahnya makin jauh. Dari 2K menjadi 5K, lalu naik ke 10K. Setiap kilometer menumbuhkan rasa percaya diri baru. Ia mulai ikut event lari seperti Guardian 10K dan Colour Bubble Fun Run 5K. “Waktu finish itu rasanya luar biasa. Aku nggak nyangka bisa sampai garis akhir,” katanya haru.
Baginya, setiap garis finish bukan sekadar akhir lomba, tapi bukti bahwa ia berhasil menaklukkan dirinya sendiri. Di tengah ritme hidup Jakarta yang melelahkan, lari memberinya ruang untuk diam tanpa berhenti, berpikir tanpa duduk. “Justru di balik riwehnya dunia sehari-hari, lari itu pelarian yang enak dan menyenangkan,” ujarnya.
Kini, lari bukan lagi sekadar olahraga atau rutinitas sore. Ia sudah menjadi cara hidup. Setiap langkah membuatnya lebih sadar akan tubuh, waktu, dan ketenangan yang tak bisa dibeli. “Lari ngajarin aku untuk sabar dan konsisten,” katanya. “Kayak hidup aja, nggak bisa langsung cepat.”

Tebet pun berubah menjadi saksi perjalanan batinnya. Di antara deru kendaraan dan lampu jalan, Novlin menemukan kedamaian kecil. “Kadang aku cuma mau keluar, lari tanpa arah, yang penting gerak,” katanya. “Itu udah cukup bikin bahagia.”
Bagi Novlin, lari adalah bentuk perlawanan kecil terhadap stres dan rutinitas. Sebuah ruang sunyi di tengah kota yang bising. Tempat di mana ia bisa menata ulang pikirannya dan mengingat siapa dirinya sebenarnya.
“Selain bikin badan sehat, ternyata lari juga bikin pikiran jernih,” ujarnya menutup percakapan. “Dan dari situ aku sadar… kadang kita nggak butuh liburan jauh untuk tenang. Cukup berani melangkah mulai dari diri sendiri.”