Lampung, TeropongJakarta.com – Di tengah derasnya arus digitalisasi yang menyentuh hampir seluruh aspek kehidupan, pendidikan karakter anak menjadi tantangan tersendiri. Bagi Annisa Nur Fitriyani, guru muda yang tinggal di Kabupaten Pringsewu, Lampung, tantangan itu justru menjadi panggilan. Ia memilih berdiri di ruang kelas, berinteraksi langsung dengan anak-anak, dan menanamkan nilai-nilai dasar kehidupan yang kian tergerus oleh perkembangan zaman.
Dorongan Annisa untuk menjadi guru berangkat dari pengalaman personal yang sederhana namun bermakna. Interaksi dengan anak-anak, baginya, menghadirkan ketenangan tersendiri. “Ada rasa damai ketika bersama anak-anak. Dari situ saya merasa terpanggil untuk mendampingi mereka tumbuh, bukan hanya secara akademik, tetapi juga secara karakter,” ujar Annisa.

Namun, menjadi guru di era digital bukan perkara mudah. Annisa menyadari bahwa tantangan pendidikan karakter saat ini jauh lebih kompleks dibandingkan generasi sebelumnya. Akses informasi yang begitu luas, ragam pengaruh sosial, hingga pola interaksi anak yang banyak bergeser ke dunia digital membuat penanaman nilai luhur bangsa terasa semakin sulit. “Anak-anak sekarang sangat mudah terpapar berbagai pengaruh. Di sinilah peran guru menjadi penting untuk tetap menanamkan nilai-nilai dasar kehidupan,” katanya.
Di ruang kelas, Annisa menekankan nilai-nilai karakter yang ia anggap fundamental. Kejujuran menjadi pijakan utama, disusul sikap saling menghargai sesama, menjaga sopan santun, disiplin, empati, dan tanggung jawab. Nilai-nilai tersebut, menurut Annisa, bukan sekadar materi pelajaran, melainkan bekal hidup yang akan menentukan bagaimana anak bersikap di tengah masyarakat yang semakin beragam.
Dalam menerapkan pendidikan karakter, Annisa memilih pendekatan yang sederhana namun konsisten. Ia meyakini bahwa keteladanan adalah metode paling efektif. Nilai-nilai yang diajarkan kepada murid terlebih dahulu diterapkan dalam dirinya sendiri dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari di sekolah. “Anak-anak belajar bukan hanya dari apa yang didengar, tetapi dari apa yang mereka lihat,” ujarnya.

Proses tersebut tentu tidak selalu berjalan mulus. Annisa mengakui bahwa penolakan dan tantangan kerap muncul, terutama ketika siswa masih berproses memahami dan memaknai nilai-nilai yang diajarkan. Namun, dengan dukungan pihak sekolah dan keterlibatan wali murid, hambatan itu perlahan dapat diatasi. Kolaborasi antara guru dan orang tua menjadi kunci agar pendidikan karakter berjalan seiring antara sekolah dan rumah.
Ke depan, Annisa berharap generasi muda Indonesia tumbuh menjadi pribadi yang tidak kehilangan jati diri. Ia membayangkan generasi yang tetap menjunjung tinggi nilai-nilai luhur bangsa, tercermin dari adab dan tingkah laku yang mulia, meski hidup di tengah kemajuan teknologi. “Kemajuan zaman seharusnya tidak menghapus karakter, justru harus memperkuatnya,” kata Annisa.
