
Jepara, TeropongJakarta.com – Di antara riuh kehidupan pesisir Jepara, seorang perempuan bernama Defasela memulai kembali babak hidupnya dengan cara yang tak mudah. Ia bukan hanya harus berjuang sebagai seorang ibu tunggal, tapi juga sebagai perempuan yang menemukan kembali dirinya lewat dunia yang pernah ia tinggalkan: dunia konten.
Kisahnya dimulai dari pernikahan yang semula diharapkan menjadi rumah, namun justru membuatnya kehilangan arah. “di pernikahan yang tidak sehat,” katanya lirih. Dari situ, hari-harinya perlahan dipenuhi rasa hampa, seolah setiap mimpi dan potensi yang dulu ia miliki terkubur oleh ketidakpastian.
Sebelum menikah, Defasela sudah dikenal sebagai konten kreator yang aktif. Ia menikmati dunia digital, berbagi hal-hal inspiratif, dan menjadikan kreativitas sebagai ruang untuk bertumbuh. Namun semuanya berubah ketika ia masuk dalam pernikahan yang tak memberi ruang untuk berkembang. “Saya merasa makin terpuruk, bukan bertumbuh,” tuturnya.
Titik balik itu datang ketika ia menyadari sesuatu yang sederhana tapi dalam: ia telah kehilangan dirinya sendiri. “Saya sadar, kalau saya terus bertahan di situasi itu, bukan hanya saya yang terluka, tapi juga anak saya,” ucapnya. Keputusan untuk meninggalkan pernikahan yang tidak sehat menjadi langkah besar bukan karena mudah, tapi karena ia tahu, diam berarti tenggelam.

Bangkit bukan perkara sehari. Defasela mengakui bahwa perjalanannya dipenuhi luka dan ketakutan. “Ketika saya meninggalkan dunia konten, saya merasa kehilangan arah. Tapi setelah melewati masa sulit, saya tahu, dunia itu adalah bagian dari diri saya,” ujarnya. Dunia konten, baginya, bukan sekadar tempat mencari penghasilan, tapi sarana untuk menyembuhkan diri dan menemukan kembali jati dirinya.
Ia memulai kembali dari nol dari kamera sederhana, ide-ide kecil, dan keyakinan bahwa setiap langkah kecil berarti. Namun di balik layar, perjuangan itu kerap disertai air mata. “Tantangan terbesarnya adalah menghadapi rasa takut. Takut gagal, takut dihakimi, takut tidak bisa memberikan yang terbaik untuk anak,” ungkapnya.
Dalam situasi serba terbatas, Defasela belajar menata ulang hidupnya. Ia bekerja, mengasuh anak, dan tetap menyiapkan waktu untuk membuat konten. “Saya belajar fokus pada langkah kecil yang pasti akan membuahkan hasil,” katanya. Kini, ia mulai memanen hasil dari konsistensinya: perlahan, pengikutnya kembali bertambah dan kontennya mulai banyak diapresiasi.
Sebagai ibu tunggal, sumber semangat terbesarnya adalah sang anak. “Dia alasan saya untuk terus maju. Ketika saya lelah, saya lihat wajahnya, dan saya tahu saya harus tetap kuat,” ucap Defasela dengan mata berbinar. Ia menambahkan, dukungan keluarga dan sahabat juga menjadi penopang besar dalam masa-masa sulitnya.

Namun, di balik semangatnya, Defasela juga jujur bahwa ia memberi ruang bagi diri untuk lelah. “Saya tidak harus kuat setiap waktu, tapi saya harus berani untuk bangkit lagi,” katanya. Ia membiasakan diri untuk bersyukur atas hal-hal kecil, seperti waktu bersama anak atau momen sederhana di rumah.
Dalam dunia digital yang cepat berubah, ia memilih untuk tetap berpegang pada nilai kejujuran dan niat baik. “Saya tidak ingin hanya mengikuti tren. Saya ingin membuat sesuatu yang punya makna,” katanya. Bagi Defasela, keaslian dan ketulusan adalah hal yang tak bisa digantikan oleh algoritma.
Kini, perjalanan Defasela bukan hanya tentang bertahan hidup, tapi juga tentang tumbuh. Ia ingin menjadi contoh bagi banyak perempuan di luar sana yang mungkin sedang terjebak dalam hubungan yang membuat mereka kehilangan jati diri. “Perempuan bisa bangkit. Tidak ada kata terlambat untuk memulai lagi,” ujarnya.
Dari Jepara, kisah Defasela bergema sebagai kisah tentang keberanian keberanian untuk meninggalkan yang melukai, menemukan diri yang hilang, dan menata masa depan dengan cinta yang lebih sehat. Karena pada akhirnya, seperti katanya, “Saya tidak hanya ingin hidup, tapi ingin benar-benar berarti untuk diri saya, dan untuk anak saya.”