
Magelang, TeropongJakarta.com – Sore di Magelang itu lembap dan dingin. Hujan baru saja reda, menyisakan aroma tanah basah yang menenangkan. Sherly Andromeda Helmi berdiri di tepi jalan, sepatu larinya sudah terikat kuat. Ia menarik napas panjang. “Dulu, jam segini aku sudah tenggelam di air, menghitung putaran kolam. Sekarang, aku menghitung langkah,” katanya pelan.
Delapan tahun hidupnya Sherly habiskan di kolam renang. Bangun sebelum matahari terbit, menahan dingin air pagi, mendengarkan peluit pelatih. Renang sudah menjadi identitasnya. Namun, perlahan, rutinitas itu mulai terasa seperti beban. “Aku butuh sesuatu yang bisa membuatku merasa bebas. Rasanya seperti ada dinding yang membatasi,” ujarnya.
Semua berubah ketika ia masuk SMA. Jarak rumah ke kolam renang terlalu jauh, sementara sekolah membuat waktunya semakin terbatas. “Aku pulang sekolah sudah sore. Untuk pergi ke kolam rasanya mustahil. Saat itu aku sadar, mungkin ini saatnya mencari cara lain untuk tetap bergerak,” Sherly mengenang.

Ia mencoba berlari di sekitar rumah. Hanya beberapa menit, sekadar mengisi waktu. Namun ada perasaan berbeda saat kakinya menyentuh aspal. “Tidak ada peluit, tidak ada garis finis yang harus kukejar. Hanya aku, langkahku, dan langit di atas,” katanya, matanya berbinar.
Tapi perjalanan itu tidak mulus. Tubuhnya harus beradaptasi dengan tekanan yang berbeda. Lututnya sakit, pergelangan kakinya bengkak. “Aku sempat menangis di kamar. Bertanya apakah aku salah meninggalkan renang. Rasanya seperti kehilangan rumah,” Sherly mengaku.
Justru di titik terendah itu, disiplin yang ia bawa dari dunia renang menyelamatkannya. Ia tetap bangun pagi, tetap keluar rumah meski hujan. “Setiap kali aku mengikat tali sepatu, rasanya aku memilih untuk bangkit,” katanya, suaranya bergetar.

Momen titik balik datang saat lomba lari pertamanya. Sherly ingat napasnya tersengal, kakinya nyeri, tapi ia terus berlari. “Begitu melihat garis finis, aku seperti melihat diriku sendiri di ujung sana. Saat melewatinya, aku menangis. Bukan karena lelah, tapi karena akhirnya aku tahu, aku memilih jalan yang benar,” ujarnya.
Sejak hari itu, ia perlahan meninggalkan kolam renang. Porsi lari ditambah, pola makan diatur, jam tidur dijaga. “Orang tuaku mendukung. Teman-temanku ikut memberi semangat. Mereka bilang aku terlihat lebih bahagia sekarang,” ucapnya sambil tersenyum.
Kini lari bukan sekadar olahraga baginya. Di setiap langkah, Sherly merasa berdialog dengan dirinya sendiri. “Kadang aku berlari sambil memikirkan hari-hariku. Rasanya seperti semua beban hilang seiring keringat yang jatuh,” tuturnya.

Sherly belajar bahwa berlari bukan soal seberapa cepat sampai, tapi seberapa kuat bertahan. “Setiap hari adalah tantangan baru. Kadang aku kalah, kadang aku menang, tapi setiap kali aku mencoba lagi, aku merasa lebih hidup,” ujarnya mantap.
Baginya, meninggalkan renang bukan berarti kehilangan masa lalu. “Renang membentukku menjadi disiplin. Lari memberiku kebebasan. Dua-duanya adalah bagian dari diriku,” katanya.
Senja mulai turun, langit Magelang berubah jingga. Sherly melangkah pelan, lalu berlari. Suara sepatu menghantam aspal, ritmis seperti musik. Di lintasan itu, ia menemukan sesuatu yang lebih dari sekadar olahraga ia menemukan rumah baru, dan menemukan dirinya sendiri.