
Bali, TeropongJakarta.com – Pagi itu, di sebuah sudut rumah sederhana di Bali, Hanny Triana duduk di depan cangkir teh yang sudah dingin. Matanya menatap kosong ke halaman, mengingat masa-masa ketika hidupnya nyaris runtuh. Ia pernah berada di titik di mana semua terasa kehilangan makna, dan ia hampir menyerah.
Namun, dari luka itulah sebuah gagasan lahir. Hanny teringat percakapan dengan sahabat-sahabatnya yang juga pernah mengalami jatuh serupa. Mereka sama-sama merasakan satu hal: tidak punya ruang aman untuk menjadi diri sendiri. “Aku tahu rasanya ingin didengar tapi tak tahu harus cerita ke siapa,” kata Hanny, lirih.
Ia kemudian membayangkan sebuah tempat yang tidak menghakimi, tempat di mana orang boleh hadir apa adanya. Tidak perlu terlihat kuat. Tidak perlu berpura-pura baik-baik saja. “Kamu boleh menangis di sini tanpa merasa lemah. Boleh diam tanpa dipaksa menjelaskan,” ujarnya. Dari situlah, Rumah Aman lahir.

Rumah Aman bukan sekadar wadah curhat. Hanny ingin membentuk komunitas yang menjadi support system nyata, di mana proses pemulihan terjadi melalui koneksi antar manusia. “Rumah Aman bukan untuk melupakan luka, tapi untuk belajar berdampingan dengannya dan menjadikannya sumber kekuatan,” katanya.
Fenomena lain ikut mendorongnya. Di era media sosial, terutama di kalangan Gen Z, istilah seperti anxiety, depresi, atau inner child wounded kian akrab di telinga. Banyak anak muda menempelkan label pada diri sendiri tanpa pemeriksaan profesional. “Self-diagnose itu bukan solusi, tapi sinyal awal,” tegasnya.
Menurut Hanny, memberi label tanpa pemahaman yang utuh justru bisa membuat seseorang terjebak. “Kadang, kita jadi bersembunyi di balik label itu, seolah itu alasan untuk tidak bertumbuh,” ujarnya. Bagi perempuan, kondisi ini sering diperparah oleh tuntutan sejak kecil untuk selalu ‘kuat’ dan tidak membebani orang lain.
Hanny mengerti betul bagaimana rasanya memendam. Ia tahu bahwa banyak perempuan takut bersuara karena khawatir dianggap terlalu emosional atau egois. Rumah Aman hadir untuk meretas pola pikir itu. “Menangis tidak membuat perempuan menjadi kecil. Punya idealisme tidak membuatnya egois,” katanya.

Di Rumah Aman, prosesnya pelan tapi penuh makna. Ada sesi journaling, diskusi reflektif, hingga ruang berbagi yang mendorong perempuan mengenal ulang dirinya. Mereka diajak menantang narasi lama dan merumuskan hidup dengan standar serta mimpi versi mereka sendiri.
Bagi Hanny, healing hanyalah awal. “Aku tidak mau mereka berhenti di fase pemulihan. Dari proses ini harus lahir keberanian untuk bermimpi dan melangkah,” katanya. Ia percaya perempuan bisa punya cita-cita besar dan arah hidup yang kuat.
Semangat itu ia tuangkan dalam sebuah buku antologi berjudul Melewati Masa Sulit: Runtuh Tapi Tidak Hancur. Awalnya hanyalah catatan pribadi jurnal sunyi yang ia tulis saat tak tahu harus berbagi kepada siapa. Lama-lama, ia sadar tulisan itu bisa menjadi pelukan dalam bentuk kata untuk orang lain.
Pesannya sederhana: setiap orang punya waktu pulih yang berbeda. Tidak ada tenggat untuk sembuh, dan tidak ada kewajiban untuk cepat-cepat “baik-baik saja”. “Buku ini undangan untuk berdamai, bukan untuk lupa,” ujar Hanny.

Ia berharap Rumah Aman bisa menjangkau sekolah, kampus, hingga komunitas kecil di berbagai daerah. Di benaknya, ada program literasi emosional, pelatihan kepemimpinan berbasis empati, dan mentoring untuk perempuan muda.
Hanny juga ingin berkolaborasi dengan psikolog, aktivis, dan penulis perempuan. “Aku tidak menargetkan angka atau popularitas. Yang aku inginkan adalah dampaknya terasa buku ini menjadi cermin bagi mereka yang pernah merasa hancur, agar sadar bahwa mereka tidak sendiri,” katanya.
Baginya, perempuan muda adalah agen perubahan, bukan sekadar objek yang diminta selalu sabar. “Karena perempuan yang berdamai dengan dirinya akan menciptakan dunia yang lebih lembut, lebih sadar, dan lebih berani,” ujarnya.
Rumah Aman adalah ruang. Bukunya adalah suara. Dan keduanya, Hanny berharap, akan menjadi pelita kecil bagi siapa pun yang sedang berjalan pelan melewati masa sulit mengajarkan bahwa meski dunia pernah membuatmu jatuh, kamu tetap layak untuk tumbuh.