Ditulis oleh Emi Suy, Seorang Sastrawati
Jakarta, Teropongjakarta.com – Pada hari Kamis, 26 September 2024, saya berkesempatan menyaksikan pementasan teater “Lakon Tragedi Tentang Otak yang Bermigrasi” di Bentara Budaya Art Gallery, Jakarta. Pertunjukan ini disutradarai oleh Putu Fajar Arcana dan menampilkan berbagai pemain berbakat seperti Inaya Wahid, Ari Sumitro, dan Siti Rokayah.
Pementasan ini juga menjadi bagian dari pembukaan Pameran Seni Rupa berjudul “Komunikasih vs Komunikacau,” yang menampilkan karya dari 19 seniman. Dalam suasana yang penuh kreativitas, saya merasakan momen berharga saat menyaksikan pementasan ini.
Setelah menyaksikan pementasan, saya merasa terbangun dan menyadari banyak hal: fakta-fakta kasat mata, suara-suara tak terdengar, dan dialog batin yang membiarkan imajinasi berkelana. Pementasan ini mampu menggugah kesadaran kita akan berbagai aspek kehidupan yang sering terabaikan.
Hidup ini penuh dengan problematika yang menjadikan dinamika lebih berwarna. Seperti baju yang terlalu kecil atau besar, kita perlu belajar menyesuaikan diri dengan segala sesuatu tanpa membuang kesempatan. Solusi dari semua ini ada pada hati kita.
Kita diajak untuk menggenggam kerinduan dari waktu ke waktu, dan semoga kita tumbuh tua dalam cinta dan welas asih kepada sesama. Di balik pementasan ini, tim Bentara Budaya yang terlibat mencakup banyak nama, termasuk Paulina Dinartisti dan Ika W Burhan, yang menunjukkan kolaborasi luar biasa.
Penyelia acara ini adalah Glory Oyong dan Ilham Khoiri, dengan kontribusi dari kurator Bentara Budaya, Mohammad Hilmi Faiq dan Frans Sartono. Tata layout acara dipersembahkan oleh Fajri Wicaksana, menambah estetika visual yang mendukung cerita.
Acara berlangsung dari 26 September hingga 8 Oktober 2024 di Bentara Budaya Jakarta. Kesadaran adalah kekuatan yang mendorong kita untuk terus tumbuh meski di tengah kerasnya kehidupan. Kesadaran ini bisa diumpamakan seperti alam: gunung, hutan, badai, atau matahari.
Ini adalah proses pendewasaan yang menghubungkan hati, pikiran, perasaan, dan emosi. Kesadaran bisa jadi ombak yang meredam gaduh dalam pikiran dan mendorong kita untuk bertransformasi. Putu Fajar Arcana berupaya mengingatkan kita akan pentingnya kesadaran di era digital ini.
Pementasan ini berfungsi sebagai alarm untuk bangkit dari keterlenaan yang disebabkan oleh gaya hidup individualis. Kita harus berani bangkit dan melawan ketidakpedulian, menemukan kembali sisi kemanusiaan yang sering terabaikan dalam keseharian kita.
Setiap manusia dilahirkan dengan kepribadian yang unik. Namun, banyak dari kita terjebak dalam kesibukan duniawi dan melupakan kekuatan tersembunyi dalam diri. “Otak yang Bermigrasi” menjadi refleksi bagi kita untuk menggali dan mengasah kepekaan tersebut.
Menurut Bli Can, “Jika memori dalam otak berpindah secara masif ke dalam mesin komputer, kepalamu akan kopong.” Pernyataan ini mengingatkan kita akan potensi bahaya dari kehilangan kesadaran yang sebenarnya.
Setelah menyaksikan pementasan, saya merasa ditampar oleh kenyataan bahwa saya adalah bagian dari lakon-lakon tersebut. Saya merasa malu kepada diri sendiri dan kepada Tuhan, menyadari bagaimana saya terhanyut dalam kehidupan serba gadget.
Pementasan ini mengajak kita untuk meningkatkan kesadaran dan memperbaiki kesalahan yang mungkin mengganggu kesehatan dan kehidupan kita. Kesadaran adalah kolaborasi antara pikiran, hati, dan perasaan untuk berubah menjadi pribadi yang lebih baik.
Kita percaya bahwa ketika Tuhan menciptakan persoalan, Dia juga menciptakan pengetahuan dan pilihan untuk menyelesaikannya. Ketika kita mampu mengatasi persoalan dengan humanisme, kita naik satu tingkat dalam kehidupan.
Kita tidak perlu takut pada perkembangan teknologi, tetapi kita harus waspada agar tidak menjadi bagian dari zombie digital. Sosial media sering kali menggambarkan kebahagiaan yang bisa jadi menipu. Di balik layar, banyak yang merasakan kesedihan dan kegelisahan.
Realitas ini menunjukkan bahwa hidup tidak hanya di dunia maya, tetapi juga di dunia nyata yang penuh rasa pahit dan manis. Masyarakat kini terlalu bergantung pada teknologi, dan studi oleh Penn State menunjukkan bahwa 77% orang merasa tergantung pada teknologi untuk mencapai kesuksesan.
Ketergantungan ini menciptakan fenomena “nomophobia,” ketakutan kehilangan ponsel, yang berdampak pada kesehatan mental kita. Pada abad ke-20, hiburan melibatkan interaksi langsung tanpa perangkat, namun kini hiburan “pasif” seperti menonton Netflix mendominasi.
Komunikasi pun berubah, di mana interaksi langsung semakin tergantikan oleh pesan teks. Dampak sosial teknologi sangat terasa. Meskipun memudahkan komunikasi, kita sering kali lupa bagaimana berinteraksi secara langsung dengan orang lain.
Kasus perundungan siber semakin meningkat di kalangan anak muda, menunjukkan bahayanya teknologi tanpa etika. Teknologi juga memengaruhi cara kita bepergian, di mana perjalanan menjadi lebih mudah, namun banyak yang menjadi ketergantungan.
Kemudahan ini membawa kita semakin jauh dari kemampuan alami kita sebagai manusia. Dalam penelitian, teknologi telah mengubah cara kita memperoleh informasi, yang membuat kita lebih mengandalkan internet daripada ingatan kita sendiri.
Kita cenderung lebih mengandalkan ponsel pintar daripada mengandalkan ingatan kita sendiri. Untuk mengetahui apakah kita terlalu bergantung pada teknologi, tanyakan pada diri sendiri beberapa pertanyaan sederhana.
Apakah Anda merasa cemas tanpa akses internet? Apakah Anda lebih sering bersosialisasi secara virtual daripada langsung? Jika jawaban Anda sebagian besar “ya,” mungkin saatnya untuk merefleksikan ketergantungan ini.
Bahaya dari ketergantungan teknologi sudah jelas: kecemasan, depresi, dan ketidakpuasan. Tekanan dari media sosial, perundungan daring, dan ketidakmampuan untuk beristirahat dari perangkat dapat membahayakan kesehatan mental kita.
Kecanduan teknologi telah meningkat, terutama di kalangan remaja. Kondisi ini bisa menyebabkan pola saraf dan kimia otak yang mirip dengan kecanduan zat. Ini adalah tanda bahwa kita perlu mengatur ulang hubungan kita dengan teknologi.
Meskipun teknologi memberi kita kemudahan, kita juga harus mewaspadai penggantian keterampilan yang mungkin terjadi. Ketergantungan pada perangkat dapat menghambat kemampuan alami kita dalam belajar keterampilan baru.
Sebagai masyarakat, kita perlu menemukan keseimbangan antara teknologi dan kehidupan nyata. Pembelajaran yang sehat harus mencakup cara untuk menghadapi tantangan tanpa bergantung pada teknologi.
Dengan moderasi, kita bisa tetap memperoleh manfaat dari teknologi tanpa kehilangan kemampuan dasar kita sebagai manusia. Apakah masyarakat terlalu bergantung pada teknologi? Ini adalah pertanyaan yang perlu dijawab.
Sementara teknologi adalah alat yang hebat untuk kemajuan, kita harus bijak dalam penggunaannya. Dengan menemukan keseimbangan, kita dapat memanfaatkan teknologi untuk kebaikan tanpa kehilangan esensi kemanusiaan kita.
Pemikiran ini dibawa Arcana ke pentas repertoar berjudul “Lakon Tragedi Tentang Otak yang Bermigrasi.” Pentas ini adalah bagian dari perayaan hari jadi ke-42 Bentara Budaya dan menampilkan pameran seni “Komunikasih vs Komunikacau.”
Untuk membuktikan bahwa doa yang dipanjatkan mesin itu absurd, Arcana menyisipkan puisi yang dibawakan AI dalam pentas. Puisi bertajuk “Doa Orang Sibuk yang 24 Jam Sehari Berkantor di Ponselnya” karya Joko Pinurbo membahas ironi doa yang kehilangan makna.
Sajak ini ibarat rapalan doa tak bernyawa saat dibacakan oleh AI. Nada suaranya datar, monoton, dan robotik. Mungkin manusia juga akan seperti itu jika menghamba pada teknologi. Dehumanisasi adalah isu serius yang perlu diperhatikan.
Arcana mempertanyakan, “Kan, (itu) sudah terjadi di beberapa tempat suci; orang berdoa dengan cara digital. Itu, kan, enggak keluar dari hati. Hati siapa? Hati komputer?” Pertanyaan ini menggugah kita untuk merenungkan kembali nilai-nilai kemanusiaan yang sedang terancam.
Tak hanya membajak peran otak, perkembangan teknologi tanpa batas juga menanggalkan kesadaran manusia tentang penghayatan dan kepercayaan. Awalnya bertujuan menghubungkan seluruh dunia, kini teknologi dibangun agar bisa menggapai Tuhan.
Ini mirip kisah Menara Babel 2.0. Otak seolah kehilangan martabat sebagai sistem pikiran, emosi, dan memori yang kompleks. Peran kognisi otak diambil alih oleh mesin, membuat manusia lupa dan bahkan menyangsikan ingatan sendiri.
Seiring perkembangan ini, penting bagi kita untuk menjaga kesadaran akan potensi diri dan peran kita sebagai manusia. Melalui teater ini, kita diingatkan untuk kembali kepada esensi kemanusiaan dan memperkuat koneksi dengan sesama dan lingkungan sekitar.