Yogyakarta, TeropongJakarta.com – Gedung DPRD Kota Yogyakarta pada 30 November 2025 itu tak seperti biasanya. Ruang sidang yang kerap menjadi arena adu argumen antar fraksi berubah menjadi ruang kontemplasi kolektif. Di sanalah HMI Komisariat Sri Sultan Hamengku Buwono IX menggelar Pelantikan dan Diskusi Publik bertema “Menguatkan Karakter Kebangsaan Bagi Pemuda Berbasis Nilai Adiluhung Ngayogyakarta Hadiningrat.”
Acara yang biasanya berlangsung khidmat itu mendadak menjelma forum kritik membentangkan kegelisahan, harapan, dan evaluasi tajam atas arah pemuda Jogja di tengah era yang makin riuh.
Ketua DPRD Kota Yogyakarta, Wisnu Sabdono Putro, S.H., M.H., membuka diskusi dengan pernyataan yang memantik perhatian. Ia menyebut nilai Hamemayu Hayuning Bawana telah kehilangan daya gigitnya karena terlalu sering menjadi slogan budaya tanpa implementasi.
“Jogja ini kaya nilai, tapi miskin keteladanan jika filosofi hanya berhenti sebagai hiasan,” ujarnya. Kalimat itu terdengar seperti kritik yang diarahkan kepada institusi pemerintah sendiri bahwa kebijakan publik tak selalu selaras dengan identitas budaya yang diagungkan.
Wisnu mengingatkan bahwa Yogyakarta tidak boleh hanya menjadi brand wisata. “Jogja mesti kembali ke akar: kota budaya, kota pendidikan, kota harmoni.”
Pembicara kedua, R.Ry Drs. Heru Wahyu Kismoyo, M.Si., memetakan persoalan yang lebih mendasar: hilangnya orientasi identitas pemuda. Menurutnya, teknologi yang melaju terlalu cepat membuat generasi muda terputus dari narasi besar budaya mereka sendiri.
“Pemuda tanpa akar budaya adalah daun yang diterbangkan angin digital,” katanya tajam. Ia menilai banyak mahasiswa kini lebih akrab dengan tren sesaat ketimbang nilai adiluhung yang diwariskan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Sorotan lebih keras datang dari Syafiqurrohman, Sekjen KNPI DKI Jakarta, yang menjadi salah satu pembicara. Ia menyebut banyak organisasi pemuda kini kehilangan jati diri, terjebak dalam aktivitas seremonial tanpa gagasan besar.
“Organisasi tanpa marwah akan rapuh. Pemuda harus kembali menjadi penggerak moral, bukan sekadar pengumpul sertifikat,” katanya. Ia menekankan bahwa regenerasi karakter tidak bisa dibangun di ruang hampa harus ada teladan, disiplin, dan keberanian mengambil sikap.
Syafiqurrohman juga menegaskan bahwa pemuda Jogja punya tanggung jawab moral lebih besar karena tumbuh di tanah yang sarat nilai adiluhung. “Kalau bukan pemuda Jogja yang menjaga adab publik, siapa lagi?”
Komisioner KPID DIY, Fuad, mengambil sudut pandang berbeda: media. Menurutnya, derasnya arus konten digital perlahan mengikis ruang pendidikan karakter. “Kita sedang kalah oleh algoritma,” katanya.
Ketua Bawaslu Kota Yogyakarta, Andie Kartala, menambahkan bahwa etika politik khas Jogja perlahan terkikis oleh pragmatisme. Ia mengingatkan bahwa pemilu damai bukan warisan otomatis, tetapi sesuatu yang harus dijaga.
Puncak acara terjadi saat M. Haikal Al-Mugarip resmi dilantik sebagai Ketua Komisariat yang baru. Dengan nada pelan namun tegas, Haikal menyatakan amanah ini bukan sekadar jabatan organisatoris.
“Amanah ini akan dipertanggungjawabkan bukan hanya kepada manusia, tetapi kepada Allah,” ujarnya. Ia berjanji HMI akan tetap menjadi ladang pembentukan insan akademis, pencipta, dan pengabdi yang bernafaskan Islam.
Ruang sidang dipenuhi ratusan peserta kader HMI, mahasiswa, hingga aktivis muda. Diskusi yang menggigit itu meninggalkan satu pesan: nilai adiluhung Ngayogyakarta tidak boleh menjadi retorika pasif. Ia harus menjadi kompas moral yang hidup.
Melalui forum ini, HMI Sri Sultan HB IX mengingatkan bahwa pemuda Jogja tidak boleh hanya mengikuti arus zaman. Mereka harus menjadi penentu arah. Dan perjuangan itu, seperti dikatakan para pembicara, dimulai dari keberanian membenahi karakter diri.
