
BANYUWANGI, TeropongJakarta.com – Dari sudut kecil pesisir selatan Banyuwangi, tepatnya di Desa Grajagan, lahirlah seorang perempuan tangguh bernama Mega Anindya. Dibesarkan dalam lingkungan sederhana, ia menyimpan mimpi yang lebih besar dari kampung halamannya: hidup mandiri di luar negeri dan membangun masa depan dengan tangannya sendiri.
“Setelah lulus SMA, aku melihat banyak orang di sekelilingku yang kuliah, tapi ujung-ujungnya tetap nganggur. Aku gak mau seperti itu,” ujar Anindya. Di tengah keterbatasan ekonomi dan pilihan, ia memilih jalur yang jarang dipilih oleh perempuan seusianya: menjadi Pekerja Migran Indonesia (PMI) di luar negeri.
Dengan bekal nekat dan kemampuan bahasa yang pas-pasan, Anindya memberanikan diri berangkat ke Hong Kong. Negara ini bukan pilihan mudah, tetapi justru tantangan itulah yang membuatnya terpacu. “Awalnya takut. Tapi setelah tujuh tahun di sini, malah jadi terlalu nyaman,” katanya.

Hong Kong bukan sekadar tempat kerja bagi Anindya. Kota metropolitan itu membentuk mental dan kepribadiannya. Ia belajar bahasa, mengenal budaya baru, dan beradaptasi dengan sistem kerja yang menuntut kedisiplinan tinggi. “Budaya di sini luar biasa. Orang-orangnya baik, sistemnya jelas. Aku jadi lebih kuat secara mental.”
Kerja keras Anindya tak hanya untuk bertahan hidup. Ia punya rencana besar: bekerja di luar negeri selama 5 sampai 10 tahun sebagai langkah percepatan hidup. “Kalau di Indonesia butuh 12 tahun untuk capai target tertentu, di sini cukup 5 tahun. Itu yang aku kejar,” katanya, mantap.
Bukan hanya soal bekerja. Sejak tiga tahun terakhir, Anindya mengembangkan bisnis kecil-kecilan berbasis media sosial. Ia menjalankan jasa titip (jastip) barang-barang dari China ke Indonesia. “Sosmed bukan cuma buat pamer. Aku manfaatkan buat jualan juga,” ujar perempuan yang kini memiliki pelanggan setia di beberapa kota di Jawa.

Aktivitas digital itu juga menjadi ruang ekspresi pribadi. “Aku simpan momen-momen berharga selama di sini. Biar nanti kalau pulang, ada yang bisa dikenang,” katanya. Meski begitu, Anindya sadar tidak semua hal harus diumbar. “Banyak orang lihat enaknya jalan-jalan, tapi nggak tahu kerja di sini capeknya seperti apa. Gak semua harus tahu.”
Dalam tujuh tahun merantau, Anindya bahkan belum pernah mengambil cuti untuk pulang. Bukan karena tidak rindu, tetapi ia sedang menanam investasi waktu. “Sesayang itu aku sama negara ini. Tapi tetap, tujuan akhirku pulang dan bangun usaha di Indonesia,” ucapnya.

Cerita Anindya menjadi bukti bahwa perempuan Indonesia mampu bersaing dan bertahan di kancah global. Ia bukan hanya pekerja, tapi juga pelaku usaha mikro lintas negara. Dengan tekad dan strategi, ia menjadikan status sebagai PMI bukan sebagai batas, tapi batu loncatan.
Dalam konteks yang lebih luas, kisah seperti Anindya mencerminkan wajah baru diaspora Indonesia. Mereka bukan sekadar penyumbang devisa negara, tapi juga agen perubahan, yang membawa nilai, pengalaman, dan perspektif baru ke tanah air.
Mega Anindya adalah salah satu dari ribuan pekerja migran Indonesia yang memilih langkah berbeda demi masa depan. Dari Grajagan ke Hong Kong, ia menunjukkan bahwa mimpi besar bisa dimulai dari tempat kecil. Asal ada keberanian untuk melangkah dan konsistensi untuk bertahan.