Jambi, TeropongJakarta.com – Ribuan jurnalis, seniman, dan mahasiswa dari berbagai organisasi di Kota Jambi berbondong-bondong menandatangani petisi penolakan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran. Aksi ini digagas oleh Koalisi Penyelamat Pilar Demokrasi dan diadakan di Gedung DPRD Provinsi Jambi.

Suwandi alias Wendi, Koordinator aksi sekaligus Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jambi, menegaskan bahwa aksi ini menunjukkan keresahan publik terhadap RUU Penyiaran. “Itu menjadi legitimasi bahwa semua pihak menolak RUU Penyiaran. Kemudian kebebasan berekspresi dan hak publik mendapatkan informasi terancam,” ujar Wendi.

Ironisnya, tidak ada satu pun anggota DPRD Provinsi Jambi yang hadir untuk menyambut massa aksi dan menandatangani petisi atau mengikuti Sidang Rakyat. Menurut informasi, ketua dan anggota DPRD sedang dalam dinas di luar Jambi. Sebagai gantinya, seorang staf humas DPRD terpaksa mencantumkan tanda tangan di lembar petisi.

“Sangat ganjil pada jam kerja semua anggota DPRD Provinsi Jambi dinas di luar. Kami sangat prihatin. Seharusnya, anggota DPRD datang dan bisa menjelaskan terkait RUU Penyiaran dan menyatakan sikap apakah menolak atau setuju terhadap revisi undang-undang ini,” tambah Wendi.

Sidang rakyat yang diadakan oleh Koalisi Penyelamat Pilar Demokrasi yang terdiri dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jambi, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Jambi, Pewarta Foto Indonesia (PFI) Jambi, Rambu House, seniman, komunitas pers mahasiswa, dan akademisi, memutuskan bahwa RUU Penyiaran versi Maret 2024 harus ditolak. Mereka juga menuntut agar pembahasan ulang draf RUU Penyiaran melibatkan partisipasi publik.

Kemas Alfajri, Ketua KPID Jambi, yang turut hadir dan menandatangani petisi, menyatakan sepakat meneruskan penolakan RUU Penyiaran ke KPI pusat.

Koalisi menilai bahwa RUU Penyiaran merupakan ancaman serius bagi kebebasan pers dan kebebasan berekspresi. Hak masyarakat untuk mendapatkan informasi akan terkikis jika RUU ini disahkan. Pasal 50B Ayat 2 dalam RUU tersebut melarang penayangan konten eksklusif jurnalisme investigasi, yang dinilai sebagai upaya untuk menutupi masalah yang penting bagi publik.

“RUU Penyiaran tidak akan mendapat penolakan dari banyak pihak, apabila prosesnya dilakukan dengan benar yakni memberi ruang partisipasi publik. Tentu jika ingin mengatur karya jurnalistik harus melibatkan organisasi jurnalis dan dewan pers serta aktivis-aktivis yang konsen pada isu HAM, kebebasan ekspresi, perempuan, anak, dan kelompok minoritas,” jelas Wendi.

Beberapa pasal dalam draf RUU tersebut juga berpotensi menciptakan tumpang tindih kewenangan antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Dewan Pers. Pasal 8 Ayat 1 menyebutkan bahwa KPI berwenang menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran, yang bertentangan dengan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Wendi memperingatkan bahwa KPI bisa menjadi lembaga yang terlalu kuat, yang berpotensi membatasi kebebasan berekspresi dan hak publik untuk mendapatkan informasi, serta bisa melakukan kriminalisasi. Ia juga menyoroti bahwa perekrutan komisioner KPI tingkat pusat dan daerah rawan disusupi partai politik dan kelompok ‘jahat’ yang mengabaikan hak publik.

Aksi ini menunjukkan kesatuan dan solidaritas berbagai elemen masyarakat dalam menolak regulasi yang dinilai berpotensi merugikan demokrasi dan kebebasan pers di Indonesia.