
Aceh, TeropongJakarta.com – Di antara deretan wajah selebgram yang ramai di media sosial, nama Cut Zahratul Sahira menyelinap dengan gaya yang jujur dan apa adanya. Perempuan asal Aceh ini tak pernah membayangkan akan dikenal publik hanya karena hal yang awalnya ia lakukan sekadar untuk bersenang-senang.
“Awalnya tuh enggak ada niatan sama sekali, kak. Cuma main sosmed biasa,” ujar Sahira, mengenang masa-masa SMA ketika media sosial hanya sekadar tempat berbagi foto dan cerita. Saat itu, dia aktif mengikuti komunitas fotografi lokal. Dalam komunitas itulah, Sahira kerap diminta jadi “ledom” istilah becandaan untuk model.
Wajahnya yang ekspresif dan gayanya yang lepas dari konstruksi formal menjadikannya cepat mencuri perhatian. Ia rajin mengunggah hasil pemotretan dari komunitas hunting foto tersebut ke akun pribadinya. Tanpa strategi, tanpa skrip, jumlah pengikutnya melonjak.
“Sehari bisa nambah banyak banget yang follow,” tuturnya. Awalnya teman-teman mendukung. Bahkan salah satu dari mereka menyebut Sahira bisa jadi selebgram. Sebuah istilah yang saat itu masih asing di telinganya.

Tapi semakin tinggi pohon tumbuh, angin yang datang pun makin kencang. Sahira mulai dihujat. “Katanya aku beli-beli followers, padahal aku bahkan enggak ngerti soal gituan,” ucapnya sambil terkekeh. Namun alih-alih terpukul, ia memetik pelajaran. Tidak semua orang akan suka, dan itu tak perlu dipaksakan.
“Saya diam aja. Ambil sisi positifnya. Karena enggak semua orang penting di hidup kita,” katanya tegas. Hujatan justru menjadi cambuk. Sahira terus membuat konten. Terus belajar. Dan rezeki pun mulai berdatangan.
Ia mulai dilirik brand lokal untuk promosi produk. Lalu merambah ke brand nasional seperti Scarlett. Bahkan, ia diminta menjadi model busana adat untuk kampanye budaya di Aceh. Semua datang bukan karena ia meminta, tapi karena kerja konsistennya di media sosial.
“Menurut saya yang bikin brand tertarik itu ya karena kontennya menarik. Gimana cara kita bikin video, cara ngomong, cara bikin orang nonton sampai habis,” jelasnya. Ia sadar, menjadi selebgram bukan cuma soal wajah dan jumlah pengikut, tapi soal narasi yang bisa dijual.
Bagi Sahira, media sosial adalah panggung bebas, dan dia menari di atasnya dengan irama yang dia pilih sendiri. Ia tak takut dikritik, karena dari sana pula ia belajar membedakan mana suara yang harus didengar, mana yang cukup dibiarkan lewat.

Kini, setiap unggahannya bukan lagi sekadar konten iseng. Di balik caption yang santai dan video endorse yang estetik, Sahira menyelipkan pesan untuk anak muda lainnya: jangan takut mulai. Jangan gentar pada omongan.
“Awal yang baik itu kita sendiri yang bangun. Bukan orang lain,” tuturnya. “Jadikan semua hujatan pelajaran, dan ingat, enggak semua orang penting buat hidup kita.”
Cut Zahratul Sahira tak lagi hanya seorang “ledom” di komunitas foto kecil. Ia kini menjadi wajah dari keteguhan hati, dari seseorang yang memilih naik meski sempat dijatuhkan. Dan dari Aceh, ia menunjukkan: kita bisa bersinar, bahkan ketika yang pertama kali kita hadapi adalah gelapnya komentar negatif.