
Surabaya, TeropongJakarta.com – Usai berziarah ke makam Mbah Bungkul, wartawan media online sekaligus aktivis budaya Muh Edi Suryanto alias Kyai Merah memutuskan singgah di Hotel Grand Darmo Suite Surabaya. Niatnya sederhana: mandi dan melihat peluang sewa hotel jika harga cocok untuk agenda Reggae Rebon musik reggae dan zikir yang tengah ia rancang.
“Dari awal saya sudah jelaskan ke resepsionis, kalau harga cocok, saya mau sewa buat agenda musik reggae dan zikir. Tapi saya mau coba dulu, niatnya cuma mandi. Mau bayar sewa harian pun saya tidak masalah. Tapi handuk saja tidak ada,” kata Edi, Minggu (28/9).
Sambil menunggu handuk, Edi ditawari layanan pijat spa oleh pihak hotel. “Saya pikir, ya sudah, daripada nunggu lama, saya ambil paket spa sekalian,” ujarnya.
Namun pengalaman yang awalnya dianggap solusi malah berubah jadi masalah baru. Di tengah sesi pijat, terapis justru menawari layanan plus-plus. “Saya kaget. Ini hotel bintang empat atau apa? Saya datang untuk mandi, bukan untuk yang aneh-aneh,” kata Edi.
Merasa tidak nyaman, Edi menghentikan pijat dan memutuskan keluar dari hotel hanya dalam waktu satu jam. “Saya cabut. Buang-buang waktu. Semua rencana saya untuk agenda reggae dan zikir saya batalkan. Niatnya cuma mau mandi, jadi malah emosi dan merasa dilecehkan,” keluhnya.
Menurut Edi, kejadian ini menjadi tamparan bagi manajemen hotel yang seharusnya menjaga citra dan standar layanan. “Saya ini wartawan, terbiasa melihat pelayanan hotel di banyak tempat. Tapi yang saya alami di sini bikin saya geleng-geleng kepala,” tambahnya.
Ia juga menilai kejadian ini merugikan pihak hotel sendiri. “Padahal saya mau bawa acara komunitas, yang jelas-jelas akan menguntungkan mereka. Tapi setelah kejadian ini, saya tidak akan rekomendasikan hotel ini,” tegasnya.
Kejadian ini menyoroti pentingnya pengawasan internal dan kualitas layanan di industri perhotelan. Untuk sebuah hotel berbintang, absennya handuk dan tawaran layanan ilegal bisa merusak kepercayaan tamu dan mencoreng reputasi pariwisata Surabaya.