Jakarta, TeropongJakarta.com -Desakan agar Nahdlatul Ulama (NU) segera mempercepat pelaksanaan Muktamar kembali mengemuka di tengah dinamika internal organisasi. Penundaan forum tertinggi jam’iyyah itu dinilai berisiko memperpanjang ketegangan dan menempatkan NU dalam situasi limbung, tanpa kepastian arah konsolidasi.
Aktivis NU era 1980-an, Muzayinul Arif, S.Ag. menilai Muktamar merupakan mekanisme konstitusional yang tidak dapat digantikan oleh forum informal maupun keputusan administratif. Menurut dia, semakin lama Muktamar ditunda, semakin besar ruang tafsir dan spekulasi yang berpotensi menggerus kepercayaan jamaah.
“Dalam tradisi NU, Muktamar adalah ruang penyelesaian paling sah. Ketika ia ditunda, organisasi kehilangan rujukan untuk menutup perbedaan secara bermartabat,” kata Arief, Jumat, (26,12,25).
Arief mengingatkan bahwa sejarah NU menunjukkan pola berulang: setiap fase tekanan dan konflik selalu menemukan jalan keluar melalui Muktamar. Pada masa Orde Lama dan Orde Baru, NU kerap berada dalam situasi serba sulit. Bahkan Muktamar Situbondo 1984 yang menegaskan Khittah 1926 tidak serta-merta mengakhiri ketegangan internal.
“Situbondo adalah tonggak penting, tapi setelah itu NU masih diuji. Krapyak 1989 dan Cipasung 1994 menjadi ruang koreksi dan konsolidasi. Artinya, konflik itu normal, yang tidak normal adalah ketika forum penyelesaiannya ditunda,” ujarnya.
Dalam pandangan Arief, lokasi Muktamar juga memiliki makna strategis. Ia menyinggung Muktamar yang digelar di Pondok Pesantren Lirboyo sebagai simbol kuat kembalinya NU pada basis kulturalnya. Pesantren, kata dia, selama ini berfungsi sebagai ruang penyangga moral yang menjaga NU dari kepentingan jangka pendek.
“Pesantren bukan hanya tempat, tapi ekosistem nilai. Di sana, keputusan diikat oleh adab, bukan sekadar kalkulasi,” kata Arief.
Kritik terhadap penyelenggaraan Muktamar NU di Lampung yang digelar di luar pesantren masih bergema. Sejumlah perubahan struktural pasca-Muktamar tersebut memicu perdebatan di kalangan warga NU. Sebagian menilai perubahan itu berjarak dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART), serta menggeser tradisi pengambilan keputusan berbasis musyawarah kultural.
Arief menyebut NU selama ini dirawat oleh keseimbangan antara struktur dan kultur. Ketika keseimbangan itu terganggu, organisasi berisiko kehilangan daya ikatnya.
“NU hidup dari keselarasan itu. Jika salah satu ditarik terlalu jauh, NU bisa kehilangan pijakan,” ujarnya.
Ia menegaskan, desakan percepatan Muktamar tidak dimaksudkan untuk memperuncing konflik, melainkan justru sebagai upaya menjaga keutuhan jam’iyyah. Menurut dia, islah hanya akan memiliki legitimasi kuat jika ditempuh melalui forum tertinggi organisasi.
“Islah tanpa Muktamar akan selalu dipertanyakan. Konsolidasi hanya sah jika dilakukan secara terbuka dan konstitusional,” kata Arief.
Hingga berita ini diturunkan, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) belum memberikan pernyataan resmi terkait desakan percepatan Muktamar. Sementara itu, wacana di tingkat akar rumput terus berkembang, menandai meningkatnya harapan agar NU segera menuntaskan konsolidasi internal melalui mekanisme yang telah lama menjadi penopang jam’iyyah.
