Cirebon, TeropongJakarta.com – Merantau tidak hanya soal berpindah tempat, tetapi juga tentang berjumpa dengan diri sendiri. Bagi Hanifah Samir, perempuan asal Cirebon, Jawa Barat, yang telah empat tahun tinggal di Hong Kong, jarak dari rumah justru membuka ruang refleksi yang selama ini tertutup oleh tuntutan dan rasa tidak aman terhadap diri sendiri.
Sejak kecil, Hanifah hidup dengan luka yang sunyi. Warna kulitnya yang gelap kerap menjadi bahan ejekan teman sebaya. Pengalaman itu menanamkan rasa rendah diri yang ia bawa hingga dewasa. “Dari kecil saya sering diolok-olok karena warna kulit. Sampai pernah berpikir ingin memutihkan kulit supaya dianggap cantik dan tidak diremehkan,” kata Hanifah.
Rasa insecure tersebut membuatnya tumbuh menjadi pribadi tertutup dan kurang percaya diri, terutama di tengah banyak orang. Ia kerap meremehkan kemampuannya sendiri dan merasa mimpinya terlalu jauh untuk diraih. “Saya selalu berkecil hati melakukan apa pun. Rasanya seperti ada suara di kepala yang bilang, kamu tidak cantik, kamu tidak akan bisa mewujudkan impian kamu seperti mereka,” ujarnya.

Di balik itu, Hanifah menyadari bahwa rasa tidak aman tersebut mendorongnya menjadi people pleaser. Ia lebih sering mengutamakan orang lain, bahkan mengabaikan kebutuhan dan kenyamanan dirinya sendiri. “Dulu saya mengira mencintai diri sendiri itu egois. Padahal sekarang saya tahu, self-love itu adalah batasan boundaries untuk melindungi diri kita,” katanya.
Kesadaran itu tidak datang tiba-tiba. Ia tumbuh perlahan melalui proses belajar dari pengalaman hidup, termasuk di perantauan. Hanifah mulai memahami bahwa memenuhi kebutuhan dasar adalah bentuk kepedulian paling awal terhadap diri sendiri. “Saya mulai lebih care. Merawat diri, makan apa yang saya suka, pakai baju yang saya nyaman, dan menjalani skincare routine. Hal-hal kecil itu ternyata sangat berarti,” ucapnya.
Proses tersebut juga disertai keberanian untuk memaafkan masa lalu, termasuk kegagalan yang pernah membuatnya kecewa. “Saya belajar memaafkan diri sendiri. Menyadari bahwa yang saya anggap kegagalan itu sebenarnya proses untuk sesuatu yang lebih baik ke depan,” kata Hanifah.

Kini, ia juga membiasakan diri mengapresiasi setiap langkah kecil. Baginya, ucapan terima kasih kepada diri sendiri bukanlah hal berlebihan. “Saya berterima kasih pada diri saya atas hari ini, atas semua yang sudah dilewati. Terima kasih sudah kuat sampai sejauh ini,” ujarnya. Kebiasaan ini, menurut Hanifah, membuat kesehatan mentalnya jauh lebih baik dan hidup terasa lebih ringan.
Di Hong Kong, Hanifah mulai mengembangkan potensi diri dengan mencoba hal-hal baru. Ia menekuni hobi hiking dan fotografi, serta melanjutkan pendidikan di Indonesian Academy. Kepercayaan dirinya pun tumbuh seiring waktu. Ia kini lebih berani bepergian sendiri dan mengambil keputusan tanpa rasa takut berlebihan.
Bagi Hanifah, mencintai diri sendiri bukanlah bentuk keegoisan, melainkan fondasi untuk kehidupan yang lebih bahagia dan bermakna. “Setelah kita benar-benar menerima diri sendiri, rasanya banyak hal jadi lebih dipermudah. Kita lebih tenang, lebih percaya diri, dan lebih siap mencapai tujuan hidup,” katanya.
