
BANDUNG, TeropongJakarta.com – Sebuah kamera menggantung erat di leher Kapten Caj (K) Hesti Oktaviani Panca Sakti, S.Tr.(Han), menyusuri barak militer di pelosok negeri. Bukan pemandangan lazim, melihat seorang perwira wanita membawa senjata sekaligus perlengkapan dokumentasi. Tapi begitulah keseharian Hesti: prajurit TNI sekaligus fotografer lapangan, yang merekam kehidupan militer dalam bingkai penuh makna.
Hesti tinggal di Bandung, namun darah Makassar mengalir kuat dalam dirinya. Disiplin dan keteguhan khas Sulawesi Selatan terasa jelas dalam cara ia bertutur maupun bertugas. Namun di balik seragam loreng dan jabatan militer, tersimpan gairah besar pada dunia visual kamera yang selalu ia bawa bukan sekadar alat, tapi jendela untuk menyampaikan kisah yang jarang terdengar.
“Awalnya karena memang hobi,” ujar Hesti saat ditemui di sela pelatihan rutin. “Tapi semakin ke sini, saya sadar bahwa dokumentasi foto dan video bisa memberi apresiasi dan semangat bagi para prajurit, terutama yang sedang bertugas di daerah rawan atau terpencil.”

Rutinitas sebagai prajurit TNI tentu bukan perkara ringan. Ada disiplin ketat, penugasan mendadak, dan medan sulit yang harus ditaklukkan. Namun Hesti tak melihat kamera sebagai gangguan. Justru, baginya, memotret dan bertugas adalah dua sisi mata uang yang saling melengkapi. “Setiap kegiatan militer itu adalah cerita. Bagi saya, ini bukan sekadar dokumentasi, tapi arsip hidup untuk generasi mendatang.”
Salah satu momen paling berkesan bagi Hesti adalah ketika mendokumentasikan detik-detik keberangkatan para prajurit ke daerah perbatasan. “Saya melihat langsung bagaimana mereka pamit pada anak-istri. Ada peluk tangis, tapi juga ada semangat juang yang luar biasa. Itu jadi pengalaman emosional dan spiritual buat saya,” katanya dengan mata berkaca-kaca.
Reaksi atas kegiatannya memotret justru positif. Banyak rekan dan atasan yang mendukung. Foto-fotonya kerap menjadi kenang-kenangan personal dan pelecut semangat. “Mereka senang karena merasa dihargai. Momen yang mereka lalui jadi abadi dan bisa dilihat kembali, bahkan oleh keluarga mereka,” jelasnya.

Di era digital saat ini, Hesti menilai dokumentasi visual dalam militer sangat krusial. Bukan hanya sebagai arsip, tapi juga sebagai media komunikasi yang kuat antara TNI dan masyarakat sipil. “Apa yang tidak terlihat orang, bisa saya tunjukkan lewat foto. TNI itu bukan hanya tentang perang. Ada kemanusiaan, ada pengorbanan, ada dedikasi yang dalam,” tuturnya.
Lewat karya-karyanya, Hesti ingin mengubah persepsi banyak orang baik tentang prajurit TNI secara umum, maupun tentang peran perempuan di dalamnya. Ia ingin publik melihat bahwa perempuan bisa memegang senjata, membawa kamera, dan tetap menjaga kelembutan hatinya dalam mengabdi.
“Saya ingin menyampaikan bahwa prajurit wanita juga bisa menginspirasi. Bisa membuat cerita. Bisa berdiri sejajar dengan siapa pun, tanpa kehilangan jati diri sebagai perempuan Indonesia,” katanya tegas.

Ia pun mengutip dengan bangga motto Korps Wanita Angkatan Darat (Kowad): “Bukan Mawar Penghias Taman, Tetapi Melati Pagar Bangsa.” Sebuah kalimat yang baginya lebih dari sekadar semboyan, tapi cerminan peran nyata perempuan dalam menjaga negeri.
“Motto itu mengingatkan kami bahwa keberadaan kami bukan sekadar pelengkap. Kami adalah pagar bangsa, yang berdiri teguh, bersih hati, mandiri, dan penuh tanggung jawab. Itu yang saya bawa ke dalam setiap karya foto saya,” ujar Hesti.
Dalam keheningan pos jaga atau riuhnya pelatihan, Hesti tetap memotret. Diam-diam, ia sedang membingkai sejarah, satu klik dalam satu momen. Di balik bidikan kameranya, ada tekad seorang prajurit perempuan untuk menjaga Indonesia bukan hanya lewat senapan, tapi juga lewat cahaya.