
Bandung, TeropongJakarta.com – RA Alia Ayu Andarini Wijaya, tapi ia lebih akrab disapa Alia Wijaya. Penulis, model, sekaligus certified energy healer ini lahir di Jakarta, besar di Pondok Indah, dan kini menetap di Bandung. Kehadirannya di dunia penyembuhan menandai pendekatan baru: bukan kelas, melainkan sharing session.
“Saya lebih suka menyebutnya sharing session karena saya tidak ingin ditempatkan sebagai guru yang serba tahu,” kata Alia. Baginya, healing adalah ruang bersama, bukan relasi satu arah. Di sana ia belajar sekaligus membimbing, menciptakan suasana egaliter, intim, dan manusiawi.
Salah satu konsep yang menjadi pijakan Alia adalah dark ego. Istilah yang terdengar provokatif itu, menurutnya, merujuk pada sisi gelap diri: ketakutan, luka batin, dan segala hal yang sering disembunyikan. “Justru ketika kita berani menatap bayangan itu, pintu penyembuhan sejati terbuka,” ujarnya.

Dalam praktik past life regression, Alia kerap melihat penolakan di awal proses. Klien sulit berhadapan dengan sisi terdalam dirinya. Namun ketika mereka bertahan di momen itu, penolakan berubah menjadi pelepasan. “Rasanya seperti membuka pintu yang lama terkunci. Dari sana hadir kelegaan dan pencerahan,” katanya.
Sertifikasi internasional yang ia raih juga memperluas pandangannya. Gelar itu memberinya legitimasi global, namun bagi Alia yang lebih berharga adalah pengalaman melihat bagaimana healing dipahami di berbagai budaya. “Healing punya bahasa universal. Yang utama bukan sertifikatnya, tapi keberanian menatap luka dan ketulusan hadir bagi orang lain,” ujarnya.
Ia justru melihat potensi besar di Indonesia. Dengan akar budaya, spiritualitas, dan nilai kebersamaan, bangsa ini memiliki fondasi kuat untuk penyembuhan. “Sekarang saya melihat healing di Indonesia bukan dari kekurangannya, melainkan dari potensinya,” kata Alia.

Bagi banyak orang, healing adalah jalan keluar dari trauma atau pola hidup berulang. Alia menegaskan, luka bukanlah penjara, melainkan pintu. Tubuh memang menyimpan trauma, tapi sains membuktikan otak bisa membangun jalur baru. “Kita bisa melatih ulang cara memaknai sakit, kegagalan, bahkan cinta,” ujarnya.
Lebih jauh, ia menekankan pentingnya menerima ketidaktahuan. Hidup justru berharga karena tidak bisa ditebak. “Bayangkan kalau kita selalu tahu masa depan, apakah kita benar-benar ingin itu?” katanya. Menurut Alia, ketidaktahuan memberi ruang untuk syukur dan membuka kemungkinan tanpa batas.
Namun, di tengah gempuran gaya hidup instan, tantangan healing kian besar. Manusia terbiasa mencari validasi cepat, menekan rasa alih-alih mengolahnya. “Padahal emosi itu seperti otot. Kalau tidak dilatih, ia melemah. Kalau dilatih dengan jujur, justru jadi kekuatan,” ujarnya.

Karena itu, ia menolak memandang healing sebagai lomba lari cepat. “Bukan soal siapa paling cepat pulih atau paling banyak sesi. Healing adalah latihan kembali ke titik nol,” kata Alia. Menurutnya, keberanian hadir penuh di detik ini adalah hal yang paling mahal dalam budaya instan.
Bagi Alia, titik nol bukan ruang kosong, melainkan tak terbatas. Healing adalah perjalanan berulang, mirip olahraga: hasilnya terasa lewat konsistensi. “Yang penting bukan sekali beres, tapi berani terus melangkah,” ujarnya.
Perjalanan itu, menurutnya, bukan sekadar penyembuhan. Ia adalah proses menemukan makna, mengenal diri, dan merangkul luka sebagai bagian utuh kehidupan. “Healing adalah keberanian menatap luka, membangun jalur baru, dan merayakan ketidaktahuan sebagai ruang hidup yang bermekaran,” kata Alia menutup percakapan.