Artikel ini ditulis oleh Emi Suy
Jakarta, TeropongJakarta.com – Musik klasik dan puisi yang dipadukan dalam sebuah konser tembang puitik menciptakan ruang pertemuan di mana kita dapat menikmati puisi dalam alunan musik klasik, serta menikmati musik klasik yang disempurnakan oleh suara emas para penyanyi yang membawakan tembang puitik tersebut. Peristiwa ini dikompetisikan dalam Piano Nusantara – Tembang Puitik Plus karya komposer maestro Ananda Sukarlan, yang telah menggubah lebih dari 700 puisi menjadi partitur. Setelah menjadi partitur, karya-karya tembang puitik Ananda Sukarlan kini berada di dunia musik klasik secara permanen dan bisa dimainkan atau dipentaskan oleh siapa saja, kapan saja.
Tembang puitik adalah komposisi musik klasik yang terinspirasi oleh puitika dalam bahasa. Ia menjadi hasil penerjemahan intersemiotik, seperti yang telah dijelaskan dalam esai Prof. Effendi Kadarusman berjudul Tembang Puitik Ananda Sukarlan: Penerjemahan Intersemiotik. Esai ini menjelaskan bahwa tembang puitik adalah bentuk penerjemahan intersemiotik, yaitu penerjemahan ruh puisi menjadi lagu klasik. Prof. Effendi membandingkan konsep penerjemahan sastra (puisi) yang dilakukan Ananda Sukarlan dalam tembang puitiknya dengan penerjemahan interlingual, seperti yang dilakukan Chairil Anwar terhadap puisi John Cornford, yang menghasilkan terjemahan yang sangat berkualitas.
Namun, dalam tembang puitik, penerjemahan dilakukan bukan secara interlingual, melainkan intersemiotik, atau dalam istilah Sapardi Djoko Damono, alih wahana. Alih wahana ini tidak hanya memindahkan satu sistem tanda ke sistem tanda lainnya, tetapi juga menciptakan inovasi atau kebaruan makna. Apa yang dilakukan Ananda Sukarlan dalam menggubah puisi menjadi tembang puitik adalah melakukan pemindahan rasa dari satu tanda ke tanda lainnya, sehingga puisi yang awalnya hadir dalam bentuk kata-kata, kini hidup dalam alunan musik klasik.
Melalui tembang puitik, puisi yang tergeletak dalam lembaran buku akan lebih hidup dan lebih terasa hingga mencapai hati pendengar. Ini adalah inovasi yang menambah kedalaman makna puisi.
Saya sangat terkesan dengan perjalanan dan proses yang terjadi di Kompetisi Piano Nusantara Plus (KPNPlus) tahun ini. Para pianis dan penyanyi yang membawakan musik klasik dan tembang puitik dalam sayembara ini benar-benar menggugah rasa. Banyak tema yang diangkat, seperti sejarah, kepahlawanan, dan yang paling menonjol adalah Hak Asasi Manusia. Di tengah berbagai peristiwa global dan nasional, tema ini semakin relevan untuk dibicarakan. Beberapa peserta bahkan mengangkat puisi dari mereka yang telah terpinggirkan dalam “sejarah pemenang”, seperti para seniman Lekra. Keberpihakan pada kemanusiaan bergaung dalam Kompetisi Piano Nusantara Plus (KPNPlus) tahun 2024 ini, dan saya berharap hal ini terus berlanjut pada tahun-tahun berikutnya.
Kompetisi Piano Nusantara Plus (KPNPlus) telah berakhir dengan memecahkan rekor dan mematahkan mitos bahwa musik klasik “tidak populer” di Indonesia. Kompetisi ini diikuti oleh 477 peserta dari berbagai instrumen dan vokal klasik di 8 kota, menjadikannya kompetisi musik klasik paling populer dan terbesar di Indonesia sejauh ini. Kata “plus” menunjukkan bahwa kompetisi ini tidak hanya untuk pianis dan piano, tetapi juga melibatkan instrumen lain dan vokal klasik, termasuk tembang puitik. Bentuk kompetisi ini juga sangat terbuka, mencakup solo piano, duo, trio, hingga quintet, serta memberi kesempatan bagi penyandang disabilitas untuk berpartisipasi. Kesetaraan dan persyaratan yang adil menciptakan suasana yang sportif.
Para peserta Kompetisi Piano Nusantara Plus dinilai oleh dewan juri internasional, yang sebagian besar adalah pemenang Ananda Sukarlan Award di masa lalu. Di babak final yang diadakan di Institut Français d’Indonésie di Jakarta, juri diketuai oleh Ananda Sukarlan, dengan dua anggota juri pianis: Stephanie Onggowinoto dan Alfred Sugiri.
Di kategori Tembang Puitik, Juara Pertama dimenangkan oleh dua vokalis muda: Ratnaganadi Paramita dan Wirawan Cuanda. Ratnaganadi menunjukkan supremasi penyair perempuan dengan dua lagu dari penyair perempuan: Senja Beku oleh Galuh Ayara dan Aria dari opera I’m Not for Sale karya Emi Suy. Di babak semifinal pada Oktober lalu, Ratnaganadi menyanyikan Sepanjang Prawirotaman, tembang puitik Ananda Sukarlan yang diambil dari puisi Kurnia Effendi. Ratna juga menyanyikan tembang puitik berjudul Rindu yang sebelumnya telah dinyanyikan oleh empat vokalis di babak semifinal. Ia didampingi oleh pianis Angelica Liviana, yang juga meraih penghargaan Pianis Kolaboratif Terbaik di KPN Plus 2024. Prestasi ini sungguh membanggakan bagi kedua wanita muda ini.
Ratnaganadi belajar vokal di Amerika Serikat dengan Prof. Phillip Larson, Prof. Tiffany Du Mouchelle, dan almarhum Maestro Prof. János Négyesy di University of California San Diego.
Sedangkan bariton Wirawan Cuanda dipuji oleh Ananda Sukarlan atas pilihan lagunya, berdasarkan puisi penyair Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), Sutikno W.S., berjudul Apel (Cerita untuk Ibunda) dan Dari Jendela Ini yang dipilih untuk babak final. Ananda Sukarlan menyatakan, “Sutikno W.S. adalah salah satu penyair terbaik Lekra, dan puisi-puisinya ditulis saat ia di penjara. Banyak karya besar lahir saat para penyair Lekra berada di penjara, namun nama mereka dan karya-karyanya hampir dilupakan.” Ananda juga menambahkan bahwa pemilihan puisi oleh peserta menunjukkan pemahaman kritis terhadap karya-karya tersebut.
Sutikno W.S. yang dipenjara oleh rezim Orde Baru tanpa proses pengadilan sejak 1969 mulai menulis puisi di dalam Penjara Salemba pada 1970, di Penjara Tangerang pada 1972, dan di Pulau Buru sejak 1973, hingga dibebaskan pada 1979. Setelah 1979, ia banyak menulis fiksi bacaan anak-anak.
Seorang pianis muda, Fatihah Firdaus, mempersembahkan karya Ananda Sukarlan yang mendokumentasikan kejadian Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang divonis penjara pada tahun 2017. Karya No More Moonlight Over Jakarta sudah dipentaskan di Amerika, Eropa, dan Asia, tetapi baru pertama kali diperdengarkan di Indonesia melalui KPN Plus.
Hal-hal seperti inilah yang membuat Kompetisi Piano Nusantara Plus menjadi bagian dari sejarah musik klasik di Indonesia. Di sini pertama kalinya dipagelarkan di Indonesia musik yang menggambarkan fenomena Basuki Tjahaja Purnama, puisi penyair Lekra, dan banyak lagi. Pada tanggal 15 Desember nanti, Ananda Sukarlan akan mempersembahkan karya Frederic Chopin yang baru ditemukan di New York dalam konser di Galeri Mitra Hadiprana, Kemang, Jakarta Selatan. Untuk konser ini, Ananda juga mengundang Ratnaganadi Paramita dan Wirawan Cuanda untuk diperkenalkan ke media dan pecinta musik klasik.
Selain hadiah trofi, medali, dan undangan konser selama setahun bersama Ananda Sukarlan, Ananda juga memilih beberapa pemenang untuk mendapatkan Golden Ticket ke kompetisi paling bergengsi, Ananda Sukarlan Award Competition, yang akan diadakan tahun depan. Pemenang ini akan langsung masuk ke babak final tanpa melalui babak penyisihan.
Kompetisi Piano Nusantara Plus akan kembali digelar tahun depan dan membuka kesempatan bagi mitra-mitra lokal dari berbagai daerah di Indonesia untuk menjadi penyelenggara dan memperkenalkan musik klasik serta karya sastra Indonesia, khususnya puisi, agar bangsa kita senantiasa terjaga nuraninya. Saya berharap KPN+ 2025 akan terus menggaungkan Hak Asasi Manusia, nilai-nilai kemanusiaan, sejarah, dan budaya untuk menginspirasi kita menjaga persatuan bangsa dan menumbuhkan rasa etika dalam kehidupan yang lebih beradab dan damai.
Pemenang Golden Ticket to Ananda Sukarlan Award:
PIANO:
– Kategori Pemula A: Chiara Kertalesmana
– Kategori Pemula B: Rachel Charlotte Gunawan, Easton Soetemo, Jeane Halim
– Kategori Pemula C: Rafaella Kirana Kamarga
– Kategori Menengah B: Danita Nauli Sammara Siregar
– Kategori Lanjutan A: Reynard Jeremy Chandra
– Kategori Lanjutan B: Hananiah Agabe Manondangi Sagala
– Kategori Musik Kamar: Veeshan Nathaniel Tandino
Kategori Tembang Puitik:
– Wirawan Cuanda
– Ratnaganadi Paramita
– Achmad Akbar Rifanda
– Freya Murti Pramudita
– Aurelia Vicci Abigail Hutajulu
– Fae Bernice Robin
Leave a Reply