
Bekasi, TeropongJakarta.com – Usianya baru 20 tahun. Namun, Shafira Inby Chandra sudah menapaki panggung yang jarang diraih anak muda seusianya. Dari modeling, bisnis, hingga pendidikan global, Shafira tampil sebagai representasi Gen Z yang menolak hanya sekadar jadi tren sesaat.
Shafira lahir pada 13 Agustus 2005. Ia tumbuh di keluarga yang sarat dengan atmosfer seni dan fashion. Kedua neneknya pernah memiliki salon ternama di Jabodetabek: satu perias pengantin, satu lagi pemilik hair salon. Ibunya, seorang mantan model era 1990-an, mewariskan dunia catwalk kepadanya. “Fashion itu sudah seperti napas dalam keluarga kami,” kata Shafira.
Warisan itu tak sekadar menjadi cerita keluarga. Sejak kecil, Shafira sudah akrab dengan panggung dan riasan. Ia tiga kali berturut-turut menjuarai kompetisi modeling catwalk. Meski begitu, ia tak ingin berhenti di gelar juara. “Aku senang bukan hanya tampil, tapi juga merancang konsep di balik layar,” ujarnya.

Jalur akademiknya mencuri perhatian. Shafira pernah lolos seleksi exchange ke Oxford University, Inggris, untuk belajar leadership dan public speaking. Tak berhenti di sana, ia juga terpilih ke program Harvard University untuk mempelajari bisnis. Hanya 50 anak muda Indonesia yang lolos, dan ia termasuk di dalamnya. “Belajar di luar negeri membuka perspektif global, tapi aku tetap harus setia pada jati diri,” katanya.
Kemampuan berbicaranya diasah serius di Toastmasters Singapore. Di forum itu, ia meraih penghargaan Ice Breaker dan Best Speaker. Baginya, berbicara di depan publik bukan sekadar soal lancar bicara. “Public speaking itu bagaimana kita menyentuh hati audiens,” tuturnya.
Di kampusnya, PSB Academy Singapura, Shafira dipercaya sebagai Student Ambassador. Ia kerap tampil sebagai MC hingga pembicara di acara resmi. Lebih jauh lagi, ia terpilih sebagai President of Indonesian Students, mewakili seluruh mahasiswa Indonesia. Ia juga aktif di PPIS (Perhimpunan Persatuan Indonesia di Singapura). “Kepemimpinan di luar negeri itu soal tanggung jawab, sekaligus menjaga identitas sebagai orang Indonesia,” katanya.

Naluri bisnis Shafira sudah terbangun sejak dini. Saat duduk di bangku SD sudah mulai jualan alat tulis dan correction tape, kemudian saat kelas dua SMP, ia mendirikan brand IT’S ME, nama yang diberikan sang ayah. Ia menjual baju sablon hasil gambarnya sendiri, hingga jasa menggambar karakter kartun untuk teman-temannya. “Aku ingin mandiri sejak kecil. Aku suka mikir gimana caranya bisa punya uang tanpa bobok celengan,” ucapnya.
Bisnis kecil itu tumbuh menjadi bekal. Kini Shafira ikut mengelola usaha keluarga di bidang fashion, skincare, hingga properti. Dari situ, ia belajar manajemen, strategi pemasaran, dan melayani konsumen. “Aku termotivasi mengikuti jejak orang tuaku. Dari kecil aku memang suka berdagang, apa saja aku dagangin,” katanya.
Kini, Shafira semakin memperdalam bisnisnya secara langsung. Ia belajar property business bersama ayahnya, serta bisnis fashion di INBY HOUSE bersama ibunya. Pengalaman ini memberinya wawasan praktis tentang manajemen, strategi pemasaran, dan membangun brand yang kuat, sambil tetap menekankan identitas diri dan kreativitas.

Identitas itu ia rangkum dalam sebuah semboyan. “Aku adalah aku, dan kamu adalah kamu. Jadilah dirimu versi terbaikmu. It’s Me.” Bagi Shafira, moto itu bukan sekadar kalimat, tapi arah perjalanan.
Di ruang digital, Shafira hadir dengan konsistensi. Konten Instagram-nya menampilkan gaya busana elegan, tutorial make-up, hingga aktivitas sehari-hari di Singapura. Rapi, estetik, tapi juga sarat motivasi. Engagement ribuan interaksi tiap pekan mengalir, mayoritas dari Indonesia dan Singapura.
Bagi para pengikutnya, gaya Shafira menjadi inspirasi. Bukan sekadar tren, tapi cara membangun percaya diri. “Kalau kamu nyaman dengan dirimu, orang lain akan lebih mudah melihat nilaimu,” katanya dalam sebuah unggahan.

Olahraga juga memberi warna dalam perjalanannya. Saat SMP, Shafira menjadi kapten tim basket putri yang membawa sekolahnya meraih juara. Dari sana ia belajar disiplin, teamwork, dan daya juang. “Pengalaman itu berharga, meski sejak pandemi aku belum kembali aktif di olahraga,” katanya.
Selain fashion dan akademik, musik menjadi ruang ekspresi. Shafira bisa bermain gitar dan piano. Ia kerap mengunggah video sederhana bernyanyi di kamar, yang kemudian viral ditonton puluhan ribu kali. “Musik adalah cara saya menenangkan diri sekaligus berbagi emosi,” ujarnya.
Sejak kecil, orang tuanya memberi ruang untuk bereksperimen. Dari modeling, bisnis kecil, hingga seni. “Orang tua selalu membiarkan saya mencoba, sampai saya menemukan passion yang sesungguhnya,” katanya. Dari situ ia belajar bahwa bisnis adalah jalur utama yang paling melekat dalam dirinya.

Kini, menjelang usia 20 tahun, Shafira menolak sekadar jadi influencer digital. Ia ingin dikenang sebagai role model yang meramu pendidikan, seni, bisnis, dan media sosial dalam satu identitas. “Saya tidak ingin hanya jadi tren sesaat. Saya ingin meninggalkan jejak yang berarti,” katanya tegas.
Di mata publik, Shafira adalah simbol optimisme generasi Z: otentik, percaya diri, dan berani melangkah ke panggung global tanpa kehilangan akar keluarga. Dari catwalk hingga Harvard, dari bisnis kecil hingga komunitas mahasiswa, ia menegaskan satu hal: otentisitas adalah kekuatan.