Jakarta, TeropongJakarta.com – Sabtu sore ini, langit tampak cerah, menunjukkan dukungan semesta bagi acara konser bertajuk “Sajak dari Ruang Juang” yang digelar di Galeri Indonesia Kaya pada tanggal 17 Agustus 2024. Konser ini diadakan untuk memperingati 79 tahun kemerdekaan Indonesia, dengan penampilan dari Ananda Sukarlan, Mariska Setiawan, Maudy Koesnaedi, dan featuring Oswin Wilke.
Konser “Sajak dari Ruang Juang” merupakan sebuah karya yang menggambarkan perjuangan dan dinamika kemerdekaan Indonesia selama 79 tahun melalui perpaduan musik, puisi, dan sastra. Sesampainya di lokasi, saya, Emi Suy, menyapa teman-teman dan para pemain konser, memilih tempat duduk di bagian depan, dan siap menyaksikan acara yang dimulai dengan lagu Indonesia Raya yang dinyanyikan bersama dengan penuh khidmat.
Maudy Koesnaedi tampil anggun dalam kebaya brokat putih dari Oscar Lawalata, sementara Ananda Sukarlan mengenakan busana dari desainer Obin (Bin House). Maudy membuka konser dengan membacakan narasi “Diary Ibu Pertiwi”, yang menyentuh hati para penonton, dilanjutkan dengan “Perjuangan Seorang Perempuan Bernama Auw Tjoei Lan”, sebuah karya yang membahas praktik penjualan perempuan. Penampilan ini disambut dengan keheningan dan kekhusyukan dari penonton.
Pertunjukan dilanjutkan dengan dentingan piano Yamaha oleh Ananda Sukarlan yang memainkan lagu “Ibu Pertiwi”. Tenor Oswin Wilke tampil memukau sebagai sosok Soekarno, menyanyikan Teks Proklamasi yang digubah menjadi musik oleh Sukarlan. Ekspresi mendalam Oswin dalam penampilannya berhasil menggetarkan hati para penonton dalam waktu singkat.
Penampilan Oswin Wilke menampilkan Teks Proklamasi dalam bentuk lagu tembang puitik yang terasa lebih heroik dan ekspresif, dengan lirik dan melodi yang membentuk pengalaman emosional yang mendalam. Sosok Soekarno yang diwakili oleh Oswin Wilke dalam kostum dan ekspresi yang mendukung pesan-pesan teks Proklamasi menyentuh hati para penonton.
Dentangan piano dan lengkingan sopran Mariska Setiawan membuat penonton terhanyut dalam gejolak suasana. Mariska menunjukkan totalitas dalam ekspresi mukanya yang menggambarkan penderitaan, kesedihan, dan kemarahan selama satu jam penampilannya, yang memikat dan menyihir penonton.
Penampilan Mariska semakin memukau dengan tambahan koreografi dari Mariska Febriyani dan penari Vincent Kodrata. Tariannya meliuk-liuk, menyampaikan suasana lagu yang sedang dinyanyikan dengan dahsyat, menciptakan sebuah fenomena yang menghubungkan masa lalu dan masa kini secara sublim.
Ananda Sukarlan dan tim juga menampilkan dua karya khusus untuk disabilitas, termasuk “Satu Tangan, Sepenuh Jiwa, Untuk Indonesia” yang dimainkan hanya dengan tangan kiri. Karya ini terinspirasi oleh lagu pop “Untuk Indonesia” dan melahirkan puisi baru yang menginspirasi penciptaan musik untuk vokal dan piano.
Karya-karya ini menjadi bagian dari deklarasi Ananda dan Mariska tentang refleksi 79 tahun kemerdekaan, yang menegaskan bahwa kemerdekaan adalah hak semua rakyat tanpa memandang (dis)abilitas, ras, agama, dan suku.
Konser ini juga menyajikan cuplikan Aria dari opera yang sedang dikerjakan Ananda Sukarlan, berjudul “I’m Not for Sale”. Opera ini bercerita tentang tokoh Auw Tjoei Lan yang menyelamatkan anak-anak korban perdagangan manusia pada awal abad 20.
Penampilan Aria pertama menggambarkan penderitaan Kapten Lie Tjian Tjoen, suami Auw Tjoei Lan, yang diperankan oleh tenor Oswin Wilke. Aria kedua adalah duet imajiner antara Kapten dan istrinya yang saling merindu dengan lagu cinta yang menyayat hati.
Ananda Sukarlan mengungkapkan, “Puisi-puisi dan karakter penyairnya memperkaya bahasa musik saya,” menambahkan bahwa musiknya sering kali dipengaruhi oleh puisi-puisi yang tidak selalu indah, tetapi memiliki harmoni dan ritme tersendiri.
Ananda Sukarlan, yang diakui sebagai komponis Indonesia terkemuka, telah menerima berbagai penghargaan internasional, termasuk Royal Order of Isabella the Catholic dari Kerajaan Spanyol dan Cavaliere Ordine della Stella d’Italia dari Italia.
Sebagai seniman yang diundang oleh Galeri Indonesia Kaya, Ananda menampilkan beberapa tembang puitiknya yang berkaitan dengan situasi Indonesia saat ini dalam dua sesi konser, pukul 15.00 dan 19.00, keduanya dipenuhi peminat antusias.
Konser ini juga menjadi momen untuk mengenang peran puisi dalam perjalanan menuju kemerdekaan, dengan mengingat bahwa puisi seperti Sumpah Pemuda merupakan bagian penting dari sejarah Indonesia.
Peran perempuan dalam perjuangan kemerdekaan juga ditekankan dalam konser ini. Kontribusi perempuan dalam berbagai aspek perjuangan, meski sering terlupakan, sangat penting dan vital.
Konser ini menegaskan peran perempuan yang tidak hanya berjuang di medan perang, tetapi juga dalam pendidikan, sosial, dan politik. Keberanian dan keteguhan perempuan menjadi inspirasi bagi generasi berikutnya.
Saya, Emi Suy, merasa terhormat dapat terlibat sebagai penulis puisi yang dipentaskan dalam opera “I’m Not for Sale”. Puisi ini sebelumnya telah dinyanyikan oleh soprano Ratnaganadi Paramita dalam seminar tentang perdagangan manusia tahun lalu.
Mariska Setiawan, sebagai penerima beasiswa Djarum, menunjukkan kualitasnya sebagai penyanyi sopran yang berbakat dalam opera, yang juga melibatkan Ananda Sukarlan sebagai Composer dan Casting Director.
Opera ini juga memperkenalkan tokoh Auw Tjoei Lan yang berperan penting dalam menyelamatkan anak-anak dari perdagangan manusia, dengan perjuangan yang penuh risiko dan ancaman dari para mucikari.
Konser “Sajak dari Ruang Juang” telah menyampaikan pesan penting tentang kemerdekaan dan peran puisi dalam sejarah Indonesia. Pertunjukan ini memperlihatkan bagaimana seni dapat menggugah dan menyentuh hati serta menghubungkan masa lalu dan masa kini.