
Palembang, TeropongJakarta.com – Evi Afriliani, perempuan asal Palembang Kota, menatap layar ponselnya dengan senyum tipis. Di balik kesibukan sehari-hari, dia punya satu misi: memahami mengapa banyak anak muda hari ini kehilangan rasa percaya diri. “Rasa percaya diri itu seperti otot. Kalau tidak dilatih, ia lemah,” ujarnya tegas.
Menurut Evi, akar masalah anak muda sekarang bukan sekadar soal kemampuan, tapi lingkungan tempat mereka tumbuh. Tekanan akademik, ekspektasi keluarga, dan standar sosial yang tinggi membuat banyak remaja merasa selalu tertinggal. “Mereka selalu dibandingkan dengan orang lain. Dan media sosial memperparah itu,” katanya.
Dia menunjuk ponselnya lagi, membuka feed Instagram yang penuh foto sempurna. “Ini bukan hanya soal melihat yang cantik dan sukses. Algoritma sengaja menonjolkan konten yang bikin kita merasa kurang,” ujarnya sambil menatap layar dengan serius.
Teman sebaya, lanjut Evi, berperan sebagai cermin diri. Candaan atau komentar negatif bisa menancap lebih dalam daripada yang disadari. Lingkungan yang mendukung bisa menguatkan mental, tapi lingkungan toksik bisa meruntuhkan rasa percaya diri dalam hitungan minggu.

Dampak jangka panjang bagi mereka yang kurang percaya diri terlihat jelas. Karier terhambat, peluang terlewat, dan kesehatan mental terganggu. Evi menekankan, banyak anak muda akhirnya memilih “bermain aman” sepanjang hidupnya, tanpa pernah mengeksplorasi potensi sesungguhnya.
Evi percaya, masa muda adalah waktu paling tepat membangun mental tangguh. “Otak masih plastis, tanggung jawab relatif ringan, banyak ruang untuk mencoba dan gagal,” ujarnya. Sekolah, kampus, dan komunitas adalah laboratorium hidup untuk belajar menghadapi tantangan.
Langkah pertama, kata Evi, adalah menetapkan tantangan kecil yang bisa dicapai secara bertahap. “Jangan tunggu besar dulu. Keberhasilan sekecil apa pun, tulis, rayakan, biar otak kita percaya kita bisa,” sarannya dengan nada lantang.
Lingkungan suportif juga jadi kunci. Evi menekankan pentingnya orang-orang yang memberi masukan konstruktif. “Kalau dikelilingi orang yang hanya mengkritik atau membandingkan, percaya diri bakal ambruk,” katanya. Mengurangi konsumsi media sosial yang memicu perbandingan juga menjadi strategi wajib.

Bagi yang takut maju, Evi punya trik psikologis: ubah perspektif risiko. Kegagalan bukan vonis akhir, tapi data untuk memperbaiki diri. Memulai dari zona nyaman, lalu perlahan maju ke wilayah lebih menantang, menurutnya, adalah rahasia para pejuang percaya diri.
Mentor atau role model juga punya peran besar. “Melihat orang yang sudah berhasil memberi contoh nyata, kita jadi tahu: kalau mereka bisa, kita juga bisa,” katanya sambil tersenyum. Latihan berbicara di depan publik, mulai dari forum kecil, menjadi latihan penting agar mental makin tangguh.
Evi menekankan: percaya diri bukan bakat bawaan. Semua orang berproses. Bahkan mereka yang terlihat berani pun dulunya ragu. “Percaya diri lahir dari tindakan, bukan dari menunggu rasa itu datang,” katanya.
Pesan terakhir Evi kepada generasi muda yang masih terjebak dalam rasa ragu: “Hidup bukan perlombaan melawan orang lain. Bertindaklah sekarang, dan rasa percaya dirimu akan mengikuti. Jangan tunggu sampai siap, karena siap itu seringkali hanya ilusi.”