Jakarta, TeropongJakarta.com – Tidak semua keberanian lahir dari teriakan. Sebagian tumbuh dalam kesenyapan, dari keputusan-keputusan kecil yang terus dirawat hingga menjadi arah hidup. Bagi Natasha Bella Theora, keputusan itu berawal dari ruang kelas bahasa Korea tempat ia pertama kali menyadari bahwa di balik hiruk-pikuk kuliner global, masakan Indonesia masih menunggu untuk diperkenalkan dengan cara yang lebih bermartabat.
Ia tidak sekadar ingin pandai memasak. Natasha memilih menempuh studi kuliner jenjang Sarjana di Korea Selatan untuk memahami dapur sebagai ruang disiplin, identitas, dan perjumpaan lintas budaya. Korea ia lihat bukan hanya sebagai tujuan belajar, melainkan sebagai medan yang menuntut ketahanan mental dan konsistensi profesional. Di sanalah, ia berharap dapat mengolah hobi menjadi kompetensi, dan rasa menjadi bahasa diplomasi.
Realitas segera menguji pilihannya. Adaptasi datang tanpa kompromi. Cuaca ekstrem, bahasa yang asing, tata krama sosial, hingga perbedaan selera makan menghadirkan keterasingan berlapis. Culture shock tidak bisa dihindari. Ada masa ketika kesepian mengendap begitu lama, hingga air mata menjadi teman paling jujur. “Saya sempat merasa sangat tertekan,” katanya pelan. Namun ia memilih bertahan membuka diri, membangun relasi, dan berdamai dengan proses. Waktu, perlahan, mengajarkan cara tinggal.

Pembuktian hadir dari dapur kompetisi. Lomba memasak internasional pertamanya di Seoul menjadi ruang konfrontasi antara identitas dan standar global. Peserta datang dari berbagai negara Tiongkok, Vietnam, Taiwan, Malaysia, Korea, Hong Kong, hingga Nepal dinilai oleh juri internasional yang menguji ketepatan teknik, keberanian konsep, dan kedalaman gagasan.
Di tengah ragam menu dan identitas peserta, Natasha memilih satu sikap yang personal sekaligus politis: menghadirkan mi goreng Indonesia. Ia menyajikannya dengan pendekatan modern, namun menolak menghilangkan karakter rasa Nusantara. Keputusan itu berbuah medali perak. Namun yang paling membekas justru momen ketika bendera Merah Putih berkibar. “Bangga, haru, dan bersyukur,” ujarnya. Sebuah pengakuan yang terasa jauh melampaui podium.
Prestasi tersebut lahir dari rutinitas yang nyaris tanpa jeda. Pendidikan tetap menjadi poros utama. Pagi hingga sore dihabiskan di ruang kuliah. Sore hingga larut malam ia bekerja paruh waktu. Di sela-sela kelelahan, ia berlatih saat libur kerja, di antara jadwal kuliah, bahkan hingga tengah malam di dapur kampus. Disiplin baginya bukan romantisme, melainkan konsekuensi dari pilihan.

Bagi Natasha, kuliner Indonesia tidak berhenti pada rasa yang kuat atau rempah yang berlimpah. Di dalamnya tersimpan filosofi, sejarah, dan nilai kebersamaan. Setiap hidangan adalah cerita. Setiap bumbu adalah ingatan. “Saya ingin dunia mengenal bahwa masakan Indonesia punya identitas yang utuh,” katanya mampu tampil modern tanpa tercerabut dari akar.
Langkahnya ke depan tidak berhenti di Korea. Ia membidik pengalaman global bekerja dan berkolaborasi di berbagai negara, memperluas jejaring, dan mengasah perspektif. Dalam jangka panjang, ia ingin memberi kontribusi nyata bagi citra kuliner Indonesia: melalui kompetisi, event internasional, dan praktik profesional yang berstandar tinggi.
Di tengah dapur-dapur modern Korea yang serba cepat dan kompetitif, Natasha Bella Theora memilih berjalan pelan, nyaris tanpa gaduh. Ia memasak bukan sekadar untuk menang, melainkan untuk merawat identitas. Dari jauh tanah air, ia menjadikan dapur sebagai jalan pulang tempat Indonesia terus hidup, dikenali, dan dihormati oleh dunia.
