
Pontianak, TeropongJakarta.com – Dian Novita Iriani, atau akrab disapa Dinno, masih mengingat jelas langkah pertamanya menyusuri trotoar Pontianak pada Oktober 2020. Kala itu, pandemi COVID-19 memaksa orang-orang tinggal di rumah. Tapi bagi Dinno, masa itu justru menjadi pintu gerbang sebuah perjalanan panjang. “Awalnya saya hanya ingin tetap sehat,” katanya. Siapa sangka, kebiasaan sederhana itu akan menuntunnya berlari sejauh 42,195 kilometer lima tahun kemudian.
Tepat di Minggu pagi, 29 Juni 2025, Dinno berdiri di garis start BTN Jakarta International Marathon dengan perasaan campur aduk. Sebagai seorang PNS, istri, dan ibu dari dua anak lelaki yang mulai beranjak remaja, ia tahu marathon ini lebih dari sekadar lomba. Ini adalah simbol pembuktian, bahwa ibu pekerja pun berhak bermimpi besar.
Keputusan memilih kategori Full Marathon tidak lahir dalam semalam. Dinno ingin membuktikan pada dirinya sendiri bahwa tubuh dan mentalnya mampu menanggung tantangan yang tak kecil. “Saya ingin anak-anak melihat ibunya bukan hanya sibuk bekerja, tapi juga menjaga kesehatan dan berani menantang batas,” ujarnya. Itu sebabnya, ia tak pernah menawar niat meski latihan kerap beririsan dengan deadline kantor dan urusan rumah tangga.

Untuk menyeimbangkan semua peran, Dinno membuat jadwal latihan seketat jadwal kerjanya. Usai salat subuh, ia sudah berlari satu jam sebelum matahari Pontianak terbit penuh. Selesai latihan, ia bergegas menyiapkan keperluan suami dan anak-anak, lalu berganti peran menjadi pegawai negeri yang harus sigap menghadapi tumpukan berkas. “Weekend biasanya saya pakai buat long run,” katanya.
Namun latihan tak hanya soal fisik. Dinno sadar, manajemen waktu dan prioritas adalah kunci. Ia belajar memilah pekerjaan paling mendesak, menyelesaikannya lebih dulu agar pikirannya lebih tenang saat berlatih. “Kalau semua terasa menumpuk, rasanya bisa stres,” ungkapnya. Karena itu, ia selalu berusaha disiplin pada jadwal yang sudah dibuat.
Di balik semua rutinitas, komunikasi dengan keluarga menjadi fondasi utama. Dinno terbiasa berdiskusi dengan suami dan anak-anak tentang jadwal latihannya. Ia ingin semua merasa terlibat dalam perjalanannya. “Support system itu sangat penting,” katanya. Dukungan sekecil apapun, bahkan hanya mendengar keluhannya, memberi Dinno tenaga baru untuk terus berlari.

Tentu saja, tak semua hari berjalan mulus. Ada masa di mana Dinno merasa kewalahan. Minimal mileage latihan seminggu bisa sampai 50 kilometer. Padahal, pekerjaan kantor tidak menunggu selesai. Belum lagi urusan rumah tangga yang selalu jadi prioritas utama. “Saat itu saya sering berbagi cerita dengan coach saya dan pelari lain yang punya mimpi sama,” tuturnya. Dari sanalah ia belajar bahwa ketahanan mental adalah separuh kekuatan seorang marathon.
Suami Dinno punya satu kalimat yang selalu ia ulang ketika istrinya ragu: “Selesaikan dan tuntaskan apa yang sudah kamu mulai.” Kalimat sederhana itu menjadi semacam mantra di kepala Dinno, terutama di kilometer 30, saat kaki mulai terasa berat dan pikirannya berkecamuk. Ia tahu, marathon bukan hanya soal otot, tapi soal kepercayaan diri untuk melawan rasa ingin menyerah.
Ketika garis finish akhirnya terlihat, Dinno tersenyum sumringah sambil terus melangkahkan kaki berlari menuju garis finis di dalam stadion GBK tanpa meneteskan airmata nya. Ia tak hanya menuntaskan 42 kilometer, tapi juga menaklukkan keraguan yang selama ini diam-diam bersarang di hati. Waktu finish 4 jam 43 menit menjadi bukti nyata kerja kerasnya. “Alhamdulillah, semuanya lancar, tanpa cedera, tanpa kram,” katanya. Sebuah pencapaian yang ingin ia rayakan dengan cara sederhana: bersyukur dan memeluk orang-orang terdekat.

Setelah semua selesai, Dinno baru benar-benar sadar betapa marathon pertamanya adalah universitas kehidupan. Ia belajar tentang kegigihan, ketekunan, dan disiplin. Tentang bagaimana cara menyiapkan mental sekuat mungkin, dan menerima bahwa proses sering kali lebih penting dari hasil. “Yang dibawa pulang bukan cuma medali, tapi versi terbaik diri saya sendiri,” katanya.
Untuk para ibu pekerja lain, Dinno ingin berpesan: mimpi tak harus berhenti di pintu rumah. Semua bisa dilakukan jika kita berani membagi waktu dan konsisten. Marathon hanyalah salah satu cara Dinno menunjukkan pada anak-anak bahwa disiplin dan ketekunan selalu berbuah manis. “Finish line bukan akhir. Justru itu awal dari mimpi saya berikutnya,” ujarnya, tersenyum.
Kini, setiap kali ia kembali menatap sepatu lari yang masih tergeletak di sudut rumah, Dinno teringat bagaimana langkah pertama saat pandemi dulu telah mengubah jalan hidupnya. Dari seorang perempuan yang sekadar ingin sehat, menjadi ibu pekerja yang berani bermimpi lebih jauh dari yang pernah ia kira.
“We Ran with Heart, We Finished with Pride,” tulisnya di media sosial. Sembari menegaskan satu keyakinan yang tak akan pernah ia lepaskan: pelan-pelan berproses, tak ada yang mustahil. Karena di setiap langkah dan keringat, ada bukti bahwa seorang ibu pun bisa berdiri di garis finish dengan kepala tegak.