Jakarta, TeropongJakarta.com – Tidak semua orang berani keluar dari zona aman. Tetapi bagi Dyah Ayu Lestari, hidup justru bergerak ketika ia berani melangkah ke wilayah yang tak pernah ia kenal. Dari panggung pernikahan yang penuh euforia hingga ruang klinik estetika yang serba presisi, perjalanan Dyah adalah kisah tentang keberanian menantang ketidakpastian dan menang.
Awal kisahnya nyaris klise: mahasiswi tingkat akhir yang sedang menunggu revisi skripsi, lalu diajak teman membantu wedding organizer. Tanpa ekspektasi, Dyah menerima. Namun yang tidak ia duga, dunia WO membuka ruang belajar yang membentuk karakter kerjanya hari ini. Ia belajar membaca emosi manusia, menghadapi klien dengan berbagai tekanan, meredakan kepanikan, dan bekerja dalam situasi yang mendadak berubah. Di situlah ia menemukan kesenangan pada interaksi manusia sesuatu yang kelak menjadi modal utamanya.
Pada 2020, Dyah memberanikan diri membuka usaha Wedding Decoration bersama temannya. Di tengah pandemi yang memukul industri acara, usaha itu justru bertahan hingga 2023. Bukan karena keberuntungan, tapi karena Dyah terbiasa bekerja dengan standar tinggi meski tanpa sorotan. Bertahan di masa krisis membuatnya paham bahwa profesionalisme bukan soal tampilan luar, melainkan kemampuan adaptasi.

Lalu datang tawaran yang mengubah semuanya. dr. Ayu, pemilik Widya Aesthetic, melihat cara kerja Dyah disiplin, cekatan, rapi dan mengajaknya masuk ke dunia estetika. Dari dekorasi panggung ke dunia medis. Dari bunga pelaminan ke mikroskop dermatologi. Sebuah loncatan yang menguji nyali.
“Tantangannya? Banyak,” ujarnya. “Dulu saya meng-handle beberapa orang. Sekarang saya harus memimpin jauh lebih banyak staf dengan karakter yang sangat berbeda. Dan saya harus belajar dunia medis dari nol.” Dyah harus cepat memahami standar kesehatan, protokol klinik, regulasi BPOM, hingga komunikasi dengan instansi resmi. Dunia baru yang menuntut ketelitian ekstrem tak ada ruang untuk salah.
Namun satu hal membuatnya tetap tegak: kemampuan membaca manusia. “Melayani pasien tak jauh beda dengan melayani klien WO. Yang dibutuhkan tetap sama: empati, kecepatan membaca kebutuhan mereka, dan komunikasi yang jujur.”

Di tangan Dyah, Widya Aesthetic tidak hanya berbicara soal kecantikan. Klinik ini memilih jalur yang lebih menantang: memberi ruang aman bagi pasien dengan kondisi khusus diabetes, autoimun, pasca kemoterapi yang sering kali takut menjalani perawatan estetika. “Kami ingin semua orang merasakan perawatan yang aman. Tidak hanya cantik dari luar, tapi sehat dari dalam.”
Untuk itu, ia dan tim dokter terus belajar dermatologi modern dan tren kesehatan global. Di era digital yang bergerak cepat, Dyah percaya inovasi bukan sekadar ikut tren, tapi memberi solusi nyata. “Kami tidak mau hanya jadi klinik estetika biasa.”
Prinsip kerja yang ia pegang pun sederhana, tapi tajam: “Layani dengan hati, maka kepercayaan pasien akan datang sendiri.” Ketulusan, menurut Dyah, adalah strategi terbaik untuk mempertahankan loyalitas.

Dan kepada anak muda yang sedang membangun karier, Dyah memberi pesan yang tak manis-manis saja tapi jujur dan menggigit: “Kalau kamu gagal, itu bukan akhir. Kalau kamu stuck, itu normal. Jangan iri dengan keberhasilan orang lain kamu nggak tahu proses jatuh bangunnya. Mulai saja dulu. Belajar terus. Jangan malas. Dan ketika kamu sudah berusaha, serahkan hasilnya pada Tuhan. Yang penting: jangan pernah berhenti melangkah.”
Perjalanan Dyah Ayu Lestari membuktikan bahwa jalan hidup kadang berbelok tanpa aba-aba. Namun bagi mereka yang berani menghadapinya, belokan itulah yang justru membuka ruang baru untuk tumbuh. Dari gedung pesta ke ruang klinik, Dyah memilih untuk tidak diam dan dari situlah profesionalisme sejatinya lahir.
