
Jakarta, TeropongJakarta.com – Budaya populer tidak lagi hanya menjadi konsumsi hiburan pasif bagi masyarakat, khususnya generasi muda. Kini, penggemar mulai “menjarah” atau poaching teks budaya, mengambil simbol-simbol dari film, komik, hingga musik, lalu mereproduksinya menjadi alat ekspresi politik atau narasi alternatif. Fenomena ini menciptakan makna baru di luar konteks asalnya, menjadikan budaya populer sebagai medium politik yang segar dan kreatif.
Salah satu contoh paling ikonik adalah bendera Jolly Roger, simbol bajak laut dalam serial One Piece. Bagi penggemar sejati, Jolly Roger bukan sekadar tanda identitas kru Topi Jerami, tetapi lambang kebebasan, perlawanan, dan keberanian melawan otoritas yang tidak adil. Di Indonesia, simbol ini mulai muncul dalam demonstrasi, mural jalanan, hingga unggahan media sosial, membawa pesan yang jauh melampaui dunia fiksi.
Fenomena ini bukan hal baru dalam sejarah budaya pop politik. Sebelumnya, dunia telah menyaksikan bagaimana Salam Tiga Jari dari film The Hunger Games menjadi simbol perlawanan politik di Thailand, Myanmar, hingga Indonesia. Simbol yang awalnya lahir dari dunia fiksi itu diadopsi sebagai bahasa protes yang sederhana namun sarat makna, terutama di kalangan anak muda yang mencari cara baru untuk menyampaikan aspirasi.
Di Indonesia, ruang protes formal semakin terbatas. Regulasi yang ketat, pembatasan aksi massa, dan minimnya ruang diskusi publik membuat banyak anak muda mencari jalur alternatif untuk menyuarakan pendapat. Di sinilah budaya populer, didukung oleh digitalisasi dan media sosial, mengambil peran sebagai ruang ekspresi yang lebih horizontal, terbuka, dan inklusif.
Menurut pengamat budaya pop, simbol-simbol seperti Jolly Roger atau Salam Tiga Jari bekerja karena sifatnya yang universal dan mudah dikenali. Simbol ini melintasi batas bahasa dan budaya, memudahkan pesan politik untuk menjangkau audiens yang lebih luas, bahkan lintas negara. Dalam konteks politik yang semakin cair, kekuatan simbol kultural menjadi aset yang tak ternilai.
Generasi muda di Indonesia kini memandang budaya pop bukan sekadar hiburan, melainkan sumber inspirasi politik. Dunia One Piece, misalnya, menyuguhkan narasi tentang perlawanan terhadap kekuasaan korup, solidaritas antar-kelompok, dan perjuangan untuk kebebasan. Ketika simbol ini keluar dari layar dan hadir di ruang publik, ia membawa pesan moral yang bisa dirasakan di dunia nyata.
Fenomena poaching budaya ini juga menciptakan apa yang disebut akademisi sebagai alternative citizenship atau kewargaan alternatif. Artinya, individu membentuk identitas dan komunitas politiknya bukan melalui institusi formal, melainkan melalui nilai dan simbol yang diambil dari budaya populer. Kewargaan ini lebih cair, imajinatif, dan sering kali lebih relevan bagi generasi digital.
Dalam praktiknya, penggunaan simbol budaya pop sebagai alat protes memberi kebebasan yang lebih luas dibandingkan simbol politik konvensional. Mengibarkan bendera bajak laut di konser musik, membuat mural bertema anime, atau memodifikasi karakter fiksi menjadi poster kritik sosial memungkinkan pesan disampaikan tanpa selalu terjebak pada kerangka politik partisan.
Tak bisa dipungkiri, digitalisasi mempercepat proses ini. Media sosial seperti Instagram, TikTok, dan X (Twitter) menjadi ruang di mana simbol-simbol budaya pop bisa diviralkan dan dipahami lintas komunitas. Pesan yang dikemas dengan estetika budaya populer cenderung lebih mudah diingat dan lebih cepat menyebar di kalangan anak muda.
Bagi sebagian anak muda, mengadopsi simbol seperti Jolly Roger bukan sekadar aksi estetis, tetapi juga pernyataan identitas. Dengan mengibarkan bendera bajak laut, mereka menyatakan diri sebagai bagian dari komunitas global yang mengedepankan nilai kebebasan, solidaritas, dan keberanian menghadapi ketidakadilan.
Seiring menurunnya kepercayaan terhadap institusi politik formal di Indonesia, budaya populer menjadi ruang alternatif untuk berpolitik. Ini adalah ruang di mana anak muda bisa berimajinasi tentang masa depan yang lebih baik, tanpa terikat pada birokrasi dan aturan yang kaku. Melalui simbol-simbol ini, mereka menciptakan narasi sendiri tentang keadilan, kesetaraan, dan kebebasan.
Fenomena ini menunjukkan bahwa di era digital, kekuatan politik tidak hanya diukur dari jumlah kursi di parlemen atau kebijakan yang dibuat, tetapi juga dari kemampuan membentuk makna. Dan di tangan anak muda Indonesia, membentuk makna bisa dimulai dari hal sederhana seperti mengangkat bendera bajak laut di tengah kerumunan konser atau membagikan salam tiga jari di media sosial.