Jakarta, TeropongJakarta.com – Industri perawatan aesthetic di Indonesia tumbuh cepat dalam beberapa tahun terakhir. Pasar medical aesthetic nasional diperkirakan bernilai ratusan juta dolar Amerika dan terus meningkat dengan laju dua digit setiap tahun, didorong oleh pertumbuhan kelas menengah, pengaruh media sosial, serta perubahan cara pandang terhadap perawatan kulit sebagai bagian dari gaya hidup. Klinik kecantikan bermunculan di kota-kota besar, menawarkan beragam prosedur dari injeksi hingga teknologi laser dengan janji perbaikan instan.
Di tengah lanskap yang semakin padat itu, Dr. Selvi Octav memilih posisi yang tidak lazim. Ia dikenal sebagai dokter Aesthetic yang menangani sejumlah publik figur. Namun Selvi menolak menjadikan hal tersebut sebagai legitimasi profesional. “Menangani publik figur tidak membuat saya merasa lebih keren,” ujarnya.
Dalam praktik sehari-hari, Selvi justru kerap mengambil keputusan yang berlawanan dengan logika industri. Ia mengatakan tidak semua pasien yang datang perlu menjalani tindakan medis. Pada kondisi tertentu, menurutnya, kulit masih berada dalam batas sehat. “Yang dibutuhkan bukan treatment, tapi istirahat yang cukup dan pola makan yang lebih baik,” katanya.

Sikap ini tidak selalu sejalan dengan tren industri Aesthetic yang semakin agresif. Pertumbuhan pasar membuat layanan estetika kerap diposisikan sebagai kebutuhan berulang. Standar kecantikan yang diproduksi media sosial ikut memperkuat dorongan tersebut, mendorong banyak orang merasa harus terus memperbaiki kulitnya. Dalam situasi ini, dokter Aesthetic berada di persimpangan antara peran medis dan tekanan komersial.
Bagi Selvi, batas itu harus dijaga. Ia menilai banyak masalah kulit berakar pada faktor non-medis kurang tidur, stres berkepanjangan, hingga pola makan yang buruk. Jika faktor-faktor tersebut diabaikan, tindakan estetik hanya akan menjadi solusi sementara. “Kedokteran Aesthetic tetap kedokteran. Prinsip kesehatan tidak boleh dikalahkan oleh tren,” ujarnya.
Data industri menunjukkan permintaan layanan Aesthetic memang meningkat signifikan, seiring naiknya konsumsi produk kecantikan dan layanan perawatan kulit di Indonesia. Namun pertumbuhan tersebut juga memunculkan pertanyaan tentang etika praktik. Semakin banyaknya pilihan tindakan tidak selalu berbanding lurus dengan kebutuhan medis pasien.

Selvi menempatkan kejujuran sebagai fondasi relasi dokter dan pasien. Ia meyakini keberhasilan praktik Aesthetic tidak diukur dari jumlah tindakan atau banyaknya pasien yang datang, melainkan dari keberlanjutan kesehatan kulit pasien itu sendiri. “Menjadi dokter Aesthetic bukan soal seberapa sering melakukan treatment, tetapi seberapa jujur kita membaca kebutuhan kulit,” katanya.
Pendekatan tersebut, menurut Selvi, menuntut keberanian untuk berkata cukup bahkan berkata tidak. Risiko bisnis, katanya, selalu ada. Namun risiko yang lebih besar justru muncul ketika tindakan medis dilakukan tanpa indikasi yang jelas. Kulit memiliki batas toleransi, dan tidak semua tren perlu diikuti.
Di tengah ekspansi industri kecantikan yang terus berlanjut, pilihan Dr. Selvi Octav untuk mengambil jarak dari euforia pasar mencerminkan kegelisahan etik dalam praktik Aesthetic modern. Bahwa di balik teknologi, promosi, dan standar kecantikan yang terus berubah, profesi dokter tetap menuntut satu hal yang tidak berubah: keberanian menjaga batas, dan kejujuran dalam merawat pasien.
