Tegal, TeropongJakarta.com – Pagi itu, matahari belum sepenuhnya menampakkan diri. Namun, di rumah mungilnya di Tegal, Saskia Paramitha sudah bangun. Ia menghirup udara segar, menenggak air putih dingin, dan merasakan denyut baru di tubuhnya bukan karena kafein atau energi semu, melainkan karena kesadaran yang telah tumbuh perlahan.
Beberapa bulan lalu, hal seperti ini terasa mustahil. Rutinitasnya dulu penuh dengan kelelahan tanpa makna. Bangun, bekerja, pulang, tidur, lalu bangun lagi tanpa ada rasa menghargai tubuh yang menopang semuanya. “Aku lihat banyak orang, muda atau tua, bolak-balik rumah sakit karena mereka kurang peduli dengan kesehatan,” kenangnya. “Awalnya aku cuma capek sama hidupku sendiri.”
Kelelahan tak lagi hanya soal fisik. Mood yang gampang turun, rasa tidak fokus, dan tubuh yang cepat menyerah membuatnya sadar bahwa sesuatu harus berubah. Tapi perubahan besar justru dimulai dari hal paling kecil hal yang sering kita anggap sepele.

Bangun lebih awal. Minum lebih banyak air putih. Makan makanan yang memberi energi, bukan sekadar pengisi perut. Bergerak setiap hari, meski hanya berjalan santai di taman dekat rumah. Itu dulu yang ia lakukan. Tanpa target besar, tanpa tekanan.
“Mulanya terasa aneh. Tapi perubahan kecil itu ternyata bikin hari-hariku jauh lebih ringan,” ujar Saskia sambil tersenyum.
Perubahan rutinitas itu membawa Saskia ke kenalan baru yang tak terduga: alam. Ketika ia memutuskan ikut pendakian gunung bersama teman-temannya, ia tidak tahu bahwa perjalanan itu bukan sekadar soal capaian ketinggian. Lebih dari itu, ia menemukan ruang sunyi untuk benar-benar berbicara dengan dirinya sendiri.
“Bukan medannya yang berat,” katanya. “Tapi setiap langkah membuat aku belajar sabar, belajar bahwa aku nggak harus buru-buru. Aku belajar percaya kalau aku bisa sampai puncak asalkan terus maju, sedikit demi sedikit.”
Di puncak itu, ia menyadari sesuatu yang lebih luas dari sekadar panorama indah: dunia ini terlalu besar untuk dikelilingi oleh rasa takut. Ia pulang dengan rasa syukur yang tak hanya mengisi dada, tapi juga mengubah cara pandangnya tentang kegigihan dan keberanian.
Namun, kekuatan Saskia tak hanya tumbuh di lereng-lereng gunung. Ia menemukan sisi lain dari hidup saat menghabiskan waktu bersama anak-anak di sebuah yayasan di Tegal. Di sana, keberanian itu berubah menjadi kelembutan.

“Alam mengajarkanku bertahan,” ia tersenyum, “tapi anak-anak mengajarkanku cara hadir sepenuhnya, cara mendengarkan tanpa menghakimi.”
Di tengah tawa anak-anak kecil itu, Saskia menemukan keseimbangan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Kekuatan dan kelembutan bukan lagi dua kutub yang berseberangan, melainkan dua sisi dari satu koin yang sama versi dirinya yang paling utuh.
Sebelum perbincangan berakhir, Saskia menatap jauh dan berkata, “Jangan tunggu semuanya sempurna baru mulai. Hidup sehat bisa dimulai dari langkah kecil. Cinta alam bisa dimulai dari menjaga kebersihan tempat yang kamu datangi. Dan membantu sesama bisa dimulai dari hal simpel seperti hadir dan mendengarkan.”
Kemudian ia menambahkan, “Kalau kamu rawat tubuhmu, hormati alam, dan jaga hati tetap peka, kamu bakal menemukan versi diri yang lebih kuat tapi tetap penuh kasih. Dan itu, menurutku, cara hidup yang paling membahagiakan.”
