
Makassar, TeropongJakarta.com – Langkah kaki Idha Anhieng kini mantap menjejak lintasan lari, jauh berbeda dari beberapa tahun silam ketika ia pertama kali mencoba olahraga itu. Perempuan asal Makassar ini tak sungkan mengakui, motivasi awalnya hanyalah rasa takut ketinggalan tren.
“Awalnya ikut-ikutan saja. Banyak teman upload foto race, pamer medal, turun berat badan. Saya jadi kepikiran, masa saya sendiri yang tidak berubah,” kenang Idha dengan nada geli. Kala itu, berat badannya memang lebih tinggi dari rata-rata, membuatnya sering merasa minder.
Namun keputusan sederhana untuk “mencoba lari” perlahan membuka pintu baru. Idha mulai rutin jogging di sekitar kawasan Pantai Losari. Satu kilometer menjadi dua, dua menjadi lima. Rasa canggung berganti percaya diri. “Sekarang kalau sehari tidak lari, rasanya ada yang hilang,” ujarnya.

Tak hanya fisik yang berubah. Dari yang semula mudah lelah, Idha kini merasakan stamina meningkat. Ia juga mengaku kualitas tidurnya lebih baik. “Saya jadi lebih tenang. Banyak pikiran pun bisa diurai lewat lari,” katanya pelan.
Media sosial, kata Idha, memainkan peran besar dalam perjalanannya. Foto-foto race, angka jarak tempuh, dan video motivasi berseliweran di linimasa Instagram. Lama-lama, ia pun terpacu untuk berbagi kisah larinya sendiri. “Awalnya cuma dokumentasi. Lama-lama ada yang DM bilang jadi termotivasi,” ujarnya.
Fenomena FOMO lari memang sedang menjamur. Menurutnya, banyak orang mulai berolahraga hanya karena ingin mengikuti tren atau tampil di media sosial. “Itu tidak masalah, asal pelan-pelan disadari bahwa lari bukan hanya buat pamer. Manfaat kesehatannya nyata,” kata Idha, suaranya mantap.

Dalam perjalanannya, ia melihat komunitas menjadi pondasi penting. Ia sempat bergabung dengan komunitas lari lokal di Makassar. Berlatih bersama membuat motivasi lebih mudah terjaga. “Rasanya beda lari bareng teman. Ada semangat kebersamaan yang bikin konsisten,” katanya.
Tren ini juga berdampak pada ekonomi kecil. Penjualan sepatu lari, jersey, dan jam pintar melonjak. “Kalau baru mulai, bawaannya pengen beli semuanya. Outfit baru, sepatu baru. Memang euforianya tinggi,” ungkap Idha sambil tertawa kecil.
Namun di balik keseruan itu, Idha menyimpan kekhawatiran. Banyak pelari pemula tergesa-gesa mendaftar race jarak jauh tanpa persiapan matang. “Saya sering lihat orang baru latihan dua bulan, langsung ikut half marathon. Itu sebenarnya riskan,” katanya serius.

Ia selalu mengingatkan, lari bukan hanya soal kecepatan atau panjang jarak. Latihan bertahap, pemahaman nutrisi, dan istirahat memadai sama pentingnya. “Pelari yang sudah lama pasti lebih berhati-hati. Mereka tahu prosesnya tidak instan,” ujarnya.
Bagi Idha, lari kini sudah menjadi bagian dari gaya hidup yang menyatu dengan kesehariannya. “Yang awalnya FOMO, sekarang jadi kebutuhan. Saya merasa lebih sehat, lebih bahagia,” katanya, matanya berbinar.
Di Makassar, setiap pagi dan sore, langkah-langkah Idha terus mengayuh semangat. Dari lintasan, ia bukan hanya menemukan kebugaran, tapi juga kebebasan dan pelan-pelan, menginspirasi banyak orang untuk ikut memulai langkah pertama.