
Surabaya, TeropongJakarta.com – Di sebuah kafe kecil di kawasan Surabaya Barat, Risna duduk dengan tenang sambil menyesap kopi hitam favoritnya. Pagi itu, ia bercerita tentang perjalanan yang tidak selalu mulus saat memilih jalannya sebagai seorang perempuan mandiri. “Semua wanita punya jalannya masing-masing,” ujarnya pelan. “Dan saya percaya, setiap perempuan bisa mandiri tanpa harus merendahkan orang lain.”
Keputusan Risna untuk membangun citra sebagai independent woman bukan sekadar tren atau jargon motivasi yang ramai di media sosial. Ia melihat kemandirian sebagai bentuk penghargaan terhadap diri sendiri, sebuah proses panjang yang memerlukan kesadaran, disiplin, dan keberanian untuk berdiri di atas kaki sendiri. “Kemandirian itu bukan berarti menutup diri dari bantuan orang lain,” kata Risna. “Tapi lebih pada kemampuan mengambil keputusan yang positif untuk hidup kita sendiri.”
Namun, perjalanan itu tidak tanpa rintangan. Di lingkungannya, Risna mengaku sering menemukan stereotip yang menganggap perempuan mandiri sebagai sosok yang sulit diatur atau bahkan dianggap terlalu ambisius. “Beberapa laki-laki merasa tidak nyaman atau terancam dengan kemandirian perempuan,” ujarnya. “Hal ini membuat kami kadang sulit menemukan pasangan yang sejalan.”

Kesulitan lain datang dari beban yang harus ia tanggung sendiri. Sebagai seorang perempuan mandiri, Risna sering dihadapkan pada keputusan-keputusan penting tanpa banyak orang yang bisa diajak berbagi pikiran. “Kadang rasanya sepi, karena kita yang harus menentukan arah,” tuturnya. “Belum lagi tantangan menyeimbangkan karier dan kehidupan keluarga. Itu tidak mudah.”
Meski begitu, Risna tidak ingin terjebak dalam keluhan. Ia menyadari, membangun personal branding sebagai sosok perempuan mandiri membutuhkan strategi yang jelas. Langkah pertama yang ia lakukan adalah self awareness. “Kita harus mengenali diri sendiri dan memahami karakter apa yang ingin ditonjolkan,” ujarnya. “Dari situ kita bisa membentuk citra yang konsisten.”
Langkah berikutnya adalah membangun jaringan positif. Risna percaya, personal branding tidak bisa dilakukan sendirian. “Komunitas itu penting sekali,” katanya. “Kita perlu organisasi, jaringan, dan orang-orang yang mendukung perjalanan kita. Mereka membantu membuka kesempatan baru.”

Di Surabaya, Risna aktif mengikuti berbagai kegiatan pengembangan diri. Dari seminar, pelatihan, hingga diskusi kecil bersama komunitas perempuan profesional. “Kegiatan seperti ini memberi energi baru,” ujarnya. “Kita belajar dari pengalaman orang lain dan saling menguatkan.”
Tidak jarang, Risna juga menjadi pembicara tamu di acara-acara kampus maupun forum kewirausahaan. Baginya, berbagi pengalaman adalah bagian dari proses membangun identitas sebagai sosok yang tidak hanya kuat untuk dirinya sendiri, tetapi juga menginspirasi orang lain. “Kalau kita punya ilmu atau pengalaman, kenapa tidak dibagikan?” katanya.
Konsistensi ini lambat laun mulai mengukuhkan nama Risna di lingkungannya sebagai figur perempuan yang mampu menunjukkan ambisi positif tanpa terkesan arogan. Ia menjaga keseimbangan antara sikap rendah hati dan tekad yang kuat untuk mencapai mimpi-mimpinya. “Saya tidak ingin kemandirian ini membuat saya lupa bahwa kita tetap makhluk sosial,” ujarnya.
Perjalanan ini tentu masih panjang. Risna mengaku terus belajar, memperbaiki diri, dan membuka diri terhadap peluang baru. “Kemandirian itu bukan tujuan akhir,” katanya. “Itu proses yang terus berkembang.”

Ketika ditanya pesan untuk perempuan lain yang ingin menapaki jalan serupa, Risna tersenyum. “Tinggalkan yang tidak membuatmu berkembang,” ucapnya mantap. Baginya, kalimat itu bukan sekadar motivasi, tetapi prinsip hidup yang ia pegang erat.
Di akhir obrolan, Risna kembali menatap cangkir kopinya yang mulai dingin. Ia percaya, setiap perempuan punya kekuatan untuk menentukan jalannya sendiri. Yang dibutuhkan hanyalah keberanian untuk memulai, kesabaran untuk bertahan, dan keteguhan untuk terus melangkah.