Jakarta, TeropongJakarta.com – Pakar Hukum Tata Negara Muhammad Rullyandi menegaskan perlunya meluruskan pernyataan Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), Prof. I Dewa Gede Palguna, yang menyebut pengangkatan Ketua MK Dr. Suhartoyo sah dan tidak ditemukan pelanggaran hukum. Menurut Rullyandi, pernyataan itu tidak hanya keliru, tetapi juga berpotensi menyesatkan publik karena bertentangan langsung dengan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta yang telah berkekuatan hukum tetap.
Rullyandi mengingatkan bahwa MKMK adalah pihak Tergugat II Intervensi dalam perkara PTUN No. 604/G/2023/PTUN.JKT, bersama Ketua MK sebagai Tergugat utama. Putusan PTUN yang inkracht sejak 16 Desember 2024 tersebut membatalkan SK Pengangkatan Ketua MK Dr. Suhartoyo No. 17 Tahun 2023 serta mewajibkan pencabutan SK tersebut. Selain itu, kedua pihak juga dihukum membayar biaya perkara sebesar Rp 369.000.
“Pernyataan Ketua MKMK bahwa pengangkatan Suhartoyo sah adalah bentuk pembangkangan terhadap amar putusan PTUN yang sudah final dan mengikat. Publik tidak boleh dibiarkan disesatkan oleh narasi lembaga yang justru sudah dinyatakan kalah di pengadilan,” kata Rullyandi.
Ia menyebut pernyataan Palguna sebagai pembelaan yang tak lagi relevan, karena dipaksakan untuk menghidupkan legitimasi yang sudah dibatalkan oleh pengadilan. Menurutnya, lembaga etik seperti MKMK seharusnya memberi contoh keteladanan, bukan justru mempertahankan penafsiran yang bertentangan dengan hukum.
Dalam putusan PTUN, Majelis Hakim secara tegas memeriksa dasar penerbitan Putusan MKMK yang sebelumnya menjatuhkan sanksi etik berat kepada mantan Ketua MK Anwar Usman. Pada halaman 294–297 dan 319, hakim menyimpulkan bahwa penerbitan putusan etik tersebut menyimpang dari prosedur yang ditetapkan oleh dua putusan MK: Putusan MK No. 31/PUU-XI/2013 dan Putusan MK No. 32/PUU-XIX/2021. Dengan demikian, permohonan Anwar Usman dikabulkan, termasuk pemulihan harkat dan martabatnya sebagai hakim konstitusi.
Tak hanya itu, pada halaman 318, hakim juga menyatakan bahwa rangkap jabatan Ketua MKMK Prof. Jimly Asshiddiqie sebagai anggota DPD aktif merupakan pelanggaran etik.
Berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut, Rullyandi menegaskan bahwa karena SK pengangkatan Suhartoyo telah dibatalkan dan amar putusan tidak memerintahkan perbaikan SK , maka proses pengangkatan Ketua MK harus dimulai ulang dari awal. Sesuai Pasal 24C ayat (4) UUD 1945 dan Pasal 4 ayat (3) UU MK, pemilihan Ketua MK harus dilakukan melalui rapat pleno para hakim, bukan penunjukan diri sendiri.
Rullyandi juga menyoroti bahwa Suhartoyo tidak pernah mengucapkan sumpah jabatan sebagai Ketua MK sebagaimana diatur Pasal 21 ayat (3) UU MK. “Syarat paling mendasar saja tidak dipenuhi. Bagaimana mungkin disebut sah?” ujarnya.
Ia menutup dengan pernyataan tegas: “Negara hukum berdiri di atas putusan pengadilan, bukan opini. Amar PTUN sudah jelas. Tinggal keberanian para pihak untuk patuh.”
