
Jakarta, TeropongJakarta.com – Di sudut kamar sempit berukuran 3×3 meter di Jakarta Timur, Leni Lestari membuka laptop tuanya. Wajahnya letih, tetapi matanya tetap tajam. Malam itu, ia sedang membantu seorang kawan yang dituduh mencemarkan nama baik di media sosial. Di usianya yang baru 24 tahun, Leni bukan sekadar lulusan hukum. Ia adalah jembatan antara dunia hukum yang rumit dan dunia digital yang penuh risiko.
Kisah Leni dimulai dari keresahan masa kecil. Ia tumbuh di lingkungan yang tak asing dengan ketidakadilan konflik warisan, penggusuran, bahkan kasus kekerasan yang menguap begitu saja. “Sejak kecil saya sering bertanya, kenapa orang miskin selalu kalah?” katanya, mengingat momen-momen getir yang membentuk idealismenya.
Bagi Leni, hukum bukan sekadar pilihan jurusan kuliah, melainkan panggilan hidup. Ia ingin tahu bagaimana sistem hukum bekerja, dan lebih dari itu, bagaimana caranya menggunakan hukum untuk menolong mereka yang tak bersuara. “Saya ingin jadi orang yang berguna, bukan cuma paham pasal-pasal.”

Selama kuliah, Leni bukan mahasiswa yang duduk diam di ruang kelas. Ia ikut turun ke lapangan, magang di lembaga bantuan hukum, hingga menulis opini hukum di media kampus. Tapi tantangan sejati datang setelah lulus. Di luar sana, dunia lebih kejam dari buku teks. Banyak orang tak tahu harus mengadu ke mana. Banyak pula yang bahkan tak percaya pada hukum.
Kepedulian itu membuat Leni tak tinggal diam. Ia mulai membuka layanan konsultasi hukum sederhana via media sosial. Kasus demi kasus berdatangan mulai dari penipuan online, kekerasan dalam pacaran, hingga pemerasan digital. “Mereka hanya butuh didengar. Banyak yang menangis setelah saya jawab DM mereka,” ujarnya.
Namun dunia digital bukan sekadar ruang bertemu. Ia juga lahan baru penuh jebakan hukum. Leni sadar bahwa hukum tak bisa terus bicara dalam bahasa elitis. Maka ia mulai membuat konten edukatif: soal UU ITE, perlindungan data pribadi, hingga hak korban kekerasan online. “Saya bikin hukum jadi lebih manusiawi,” katanya sambil tertawa kecil.

Leni tahu, membangun kepercayaan di dunia digital butuh lebih dari sekadar gelar. Ia pun belajar branding, copywriting, hingga etika bisnis daring. “Di hukum, saya belajar struktur dan tanggung jawab. Di dunia digital, saya belajar kecepatan dan kreativitas. Saya gabungkan keduanya.”
Tapi menyatukan dua dunia itu tak mudah. Burnout sering datang tanpa aba-aba. Leni pernah merasa hampa, lelah secara mental, bahkan kehilangan arah. “Kadang saya merasa terlalu muda untuk tanggung jawab sebesar ini,” katanya. Namun tiap kali ia melihat seseorang terbantu, harapan kembali tumbuh.
Perempuan di persimpangan hukum dan teknologi, bagi Leni, punya posisi strategis. Ia bisa menjembatani ruang digital yang sering kali maskulin dan kasar, dengan pendekatan hukum yang lembut tapi tegas. “Saya ingin membuat ruang digital lebih etis, lebih aman,” ucapnya.

Kini, ia juga mulai melibatkan diri dalam diskusi kebijakan publik. Baginya, hukum tak boleh ketinggalan dari laju teknologi. “Regulasi soal media sosial, AI, perlindungan anak digital semua itu butuh suara anak muda,” katanya. Ia percaya, jika tidak dilibatkan, hukum akan terus tertinggal.
Impian Leni sederhana: jadi sumber informasi hukum yang mudah diakses, bisa dipahami, dan dekat dengan kehidupan sehari-hari. Ia ingin orang-orang tahu bahwa keadilan bukan milik segelintir orang. “Saya ingin anak-anak perempuan di kampung saya tahu bahwa mereka juga bisa punya suara.”
Ia juga bermimpi membangun komunitas hukum digital perempuan tempat berbagi pengalaman, saling belajar, dan saling menguatkan. Bagi Leni, ruang digital seharusnya bukan tempat ketakutan, tapi ruang kolaborasi.
Di akhir percakapan, Leni menutup laptopnya. Waktu sudah menunjukkan pukul 02.15 dini hari. “Masih banyak yang harus saya pelajari,” katanya lirih. Tapi malam itu, seperti banyak malam sebelumnya, ia kembali memilih berdiri di tengah arus. Bukan untuk jadi pahlawan. Tapi untuk menjadi jembatan bagi mereka yang nyaris kehilangan harapan.