
Malang, TeropongJakarta.com – Pagi masih basah oleh embun ketika Aviatul Maula atau akrab di panggil Avia, menjejakkan kaki di trotoar jalanan Malang. Sepatu lari berwarna abu-abu yang sudah menemaninya ribuan kilometer menjadi saksi perjalanan sederhana yang justru membawanya pada identitas baru. Bagi Avia begitu ia biasa dipanggil lari dan kamera bukan sekadar hobi pengisi waktu luang. Keduanya menjelma jalan panjang menuju versi dirinya yang paling otentik.
Semua bermula tanpa target yang muluk. Ia hanya ingin berlari, sekadar mengukur seberapa jauh tubuhnya sanggup bergerak. Sampai pada satu pagi, ia memutuskan ikut race kecil-kecilan. Hasilnya di luar dugaan masuk daftar potential winner urutan kelima. Kemenangan kecil itu menjelma cambuk. Saat seorang panitia menawarinya jadi pacer di event fun run, Avia merasa hatinya mengetuk: inilah jalannya.
Jika lari adalah caranya berdamai dengan diri sendiri, kamera adalah caranya merawat kenangan. Setiap jepretan baginya seperti kapsul waktu. Awalnya, ia memotret hanya untuk menyimpan cerita. Namun ketika seorang teman berkata bahwa ia menyukai konten-konten buatan Avia, seketika ia paham: kamera bukan cuma hobi, melainkan skill yang layak dirawat.

Dalam dunia media sosial yang bising, Avia tidak menaruh ambisi muluk menjadi sosok paling populer. Ia hanya ingin jujur. Jujur bahwa kadang ia kelelahan, kadang ia semangat membuncah. Di setiap unggahan baik video saat berlari atau foto sunyi di ujung hari selalu ada cerita kecil tentang keseharian. Rupanya, kejujuran itulah yang justru membuat orang merasa dekat.
“Tantangan terbesarnya,” ujarnya suatu sore di sela latihan, “adalah membedakan diri tanpa kehilangan jati diri.” Ia sadar, di era banjir konten serupa, mudah sekali tergoda membuat gimmick demi sorotan. Tapi Avia memilih cara lain: fokus pada sudut pandang personal. Baginya, keotentikan adalah keberanian menunjukkan proses, bukan hanya hasil.
Manajemen waktu menjadi bekal utama. Antara kuliah, latihan fisik, produksi konten, dan waktu untuk diri sendiri, Avia belajar membuat ruang yang adil untuk semuanya. Kadang ia berlari pagi sebelum kelas, kadang sore setelah tugas rampung. Fleksibilitas menjadi kunci. “Yang penting ada niat dan prioritas,” katanya sambil tersenyum.

Keberhasilan membangun personal branding bukan datang dari strategi rumit, melainkan konsistensi yang jujur. Saat ia bercerita bagaimana lari membuat pikirannya tenang, banyak orang yang menyahut, “Aku juga merasakannya.” Relasi itulah yang membuat kontennya terasa berbeda.
Menurut Avia, cerita sederhana tanpa lapisan pencitraan justru lebih kuat menjangkau audiens. Sebab di balik algoritma yang rakus angka, manusia tetap mencari sesuatu yang tulus. “Kejujuran itu langka dan terasa,” ucapnya. Konten yang relatable lebih mudah diingat karena ia menyentuh sisi paling manusiawi: rasa ingin dimengerti.
Jika dilihat sekilas, hidup Avia tak tampak luar biasa. Tapi justru kesederhanaan itulah yang membuat banyak orang diam-diam menunggu unggahannya. Mereka tak hanya melihat foto atau video, tapi merasakan semangat yang menular dari tiap langkah lari dan setiap cerita yang Avia rawat.

Kini, ia tidak lagi memotret semata untuk dirinya sendiri. Ia paham bahwa setiap bingkai visual bisa menjadi jembatan: menghubungkan pengalaman pribadinya dengan kerinduan orang lain akan ketulusan. Dan lari aktivitas yang dulu dianggap hobi sepele berubah menjadi pilar identitas.
Suatu kali, ia ditanya apa yang ingin dicapai dari semua ini. Avia hanya mengangkat bahu, lalu menjawab singkat, “Aku hanya ingin jadi diri sendiri.” Dalam dunia yang gemar berlomba menjadi versi orang lain, kesederhanaan itu terdengar begitu mewah.
Di Malang yang hangat, di antara napas yang terengah seusai berlari, Avia menemukan satu pelajaran penting: terkadang, perjalanan paling bermakna dimulai dari keputusan kecil untuk jujur. Dan dari kejujuran itulah, ribuan orang merasa terhubung bahkan sebelum mereka sempat saling mengenal.