
Yogyakarta, TeropongJakarta.com – Di sebuah dusun kecil di lereng perbukitan Gunungkidul, suara tawa anak-anak pecah di antara rimbunnya pepohonan jati. Seorang perempuan muda, berselendang batik, duduk bersila dengan sekumpulan bocah. Di tangannya tergenggam sebuah buku cerita bergambar. Ia membacakan kisah tentang naga penjaga hutan dan anak desa yang berani. Perempuan itu adalah Aisyah Akhlaqul Karimah.
Bagi warga sekitar, Aisyah bukan orang asing. Ia datang hampir setiap pekan membawa buku, cerita, dan semangat. Namun di luar dusun ini, Aisyah dikenal sebagai mahasiswa Magister Sastra Universitas Gadjah Mada (UGM) yang segera diwisuda dengan predikat cumlaude dalam waktu studi kurang dari dua tahun. Ia bukan hanya akademisi. Ia adalah aktivis literasi, pelestari budaya, penjaga sungai, dan duta kesehatan mental.
Perjalanan Aisyah seperti narasi panjang yang ditulis dengan tekun, halaman demi halaman. Lahir dan besar di Yogyakarta, ia dibesarkan dalam lingkungan yang mencintai buku. Namun, gairahnya terhadap literasi tak berhenti di bangku sekolah. Tahun 2021, ia mendirikan Sekolah Minggu Ceria program yang membumikan literasi ke pelosok, dari desa ke desa.

Ia percaya bahwa literasi bukan semata kemampuan membaca atau menulis, melainkan jalan untuk menumbuhkan empati, imajinasi, dan kesadaran sosial. “Anak-anak di dusun pun berhak mengenal dunia, dan dunia pun perlu mengenal mereka,” ujarnya, suatu siang, sambil memanggul tas berisi buku-buku ke pinggiran sungai Oya.
Aisyah tak pernah betah diam di balik meja perpustakaan. Di sela jadwal kuliahnya yang padat, ia turun ke sungai, bergabung sebagai relawan konservasi air. Di sisi lain, ia aktif mengedukasi isu kesehatan mental melalui kampanye bersama UNICEF Indonesia. “Literasi dan lingkungan tak terpisahkan. Keduanya membentuk cara kita melihat dan menghargai kehidupan,” katanya.
Kiprahnya diakui luas. Ia didapuk menjadi Duta Bahasa DIY 2023 dan dipercaya sebagai juri Putra Putri Proklamasi DIY. Selain itu, ia juga rutin tampil sebagai narator buku anak produksi Balai Bahasa. Tidak banyak yang tahu, Aisyah juga piawai meniup saksofon dan menjadikan seni sebagai ruang untuk memperkuat pesan sosial.

Dengan lebih dari 30 prestasi akademik dan sosial, Aisyah menjadi salah satu perwakilan muda yang dikirim ke berbagai forum nasional dan internasional. Dari konferensi sastra di Malaysia hingga pelatihan kebudayaan bersama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, namanya mulai akrab di ruang-ruang diskusi global.
Namun, prestasi bukan tujuan akhir baginya. “Saya tak mengejar panggung. Saya ingin memberi ruang,” ujarnya lirih. Beasiswa unggulan senilai Rp 100 juta dari Kemendikbudristek ia manfaatkan bukan hanya untuk studi, tapi juga untuk membiayai kegiatan literasi komunitasnya. “Saya ingin anak-anak itu tahu bahwa mereka penting.”
Kisahnya menyentuh banyak orang. Seorang ibu di desa tempat ia mengajar pernah berkata, “Aisyah datang bukan hanya dengan buku, tapi dengan cahaya.” Ia membawa cerita, tapi juga mendengarkan. Ia mengajar, tapi juga belajar. Ia hadir, bukan untuk sekadar membantu, melainkan untuk tumbuh bersama.

Kini, Aisyah tengah bersiap mengikuti program pertukaran mahasiswa ASEAN dan menyelesaikan buku pertamanya yang merangkum pengalaman literasi dari desa. Buku itu akan ia persembahkan untuk anak-anak yang pernah duduk bersamanya, mendengarkan kisah tentang naga, dan kemudian menulis mimpi mereka sendiri.
Dalam generasi yang sering dicap terjebak layar dan ambisi pribadi, Aisyah menunjukkan jalan berbeda: jalan yang sunyi, berdebu, namun penuh makna. Ia membuktikan bahwa dari sudut-sudut terpencil, perubahan bisa dimulai. Bukan lewat jargon, tapi melalui cerita, keberanian, dan buku-buku yang tak pernah lelah berpindah tangan.