
Oleh: Trya Harum Akmil Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Andalas
Di era digital, transparansi sering dianggap sebagai senjata andal untuk mencegah korupsi. Dengan semakin pesatnya digitalisasi sistem pemerintahan dan ketersediaan platform data terbuka, optimisme Masyarakat, terutama generasi Z yang melek teknologi, tumbuh dalam harapan menjadikan institusi publik lebih bersih dan akuntabel. Namun, dalam kenyataannya transparansi digital tidak serta-merta mengakhiri korupsi, apalagi secara langsung membentuk integritas generasi Z. artikel ini bertujuan untuk menganalisis alasan di balik fenomena ini
dengan meninjau dinamika transparansi digital, sikap generasi Z, dan kompleksitas korupsi di
Indonesia.
Selama bertahun-tahun, Indonesia menghadapi tantangan yang signifikan dalam memerangi korupsi. Hal ini tercermin dari skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang dirilis oleh Transparancy International pada tahun 2024, di mana Indonesia hanya memperoleh 34 dari 100. Angka tersebut mengindikasikan bahwa publik masih menganggap korupsi sebagai masalah serius yang terus mengakar dalam sistem. Guna meminimalkan peluang korupsi, pemerintah telah mengadopsi digitalisasi birokrasi melalui sistem e-Government, e-budgeting, dan pengaduan elektronik, yang dirancang untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas.
Akan tetapi, masalah utamanya tidak hanya pada aspek teknologi, melainkan pada budaya birokrasi yang masih mempraktikkan korupsi serta rendahnya literasi digital masyarakat dalam memanfaatkan data yang terbuka. Sebagai contoh, sebuah studi kasus di Jakarta menunjukkan bahwa meskipun sistem e-budgeting berhasil mengurangi korupsi
anggaran, pengawasan publik yang lemah dan sikap abai terhadap data menjadikan
implementasi teknologi ini tidak sepenuhnya efektif. Selain itu, resistensi dari pihak-pihak yang diuntungkan dari korupsi juga semakin memperlambat terjadinya perubahan yang sesungguhnya.
Sedangkan di sisi lain, generasi Z yang kini mendominasi lebih dari 50% Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada pemilu 2024, dikenal karena kepercayaannya pada teknologi dan sikapnya yang sangat kritis terhadap isu-isu sosial, termasuk korupsi. Sebuah survei (Survei Integritas Anak Muda, 2024), hal ini menunjukkan bahwa 62% anak muda merasa memiliki peran penting dalam membangun integritas dan memberantas korupsi. Meskipun demikian, terdapat ketidakkonsistenan dalam tindakan mereka, karena sebagian dari mereka masih menunjukkan sikap apatis dalam partisipasi politik yang nyata. Angka pemilih yang tidak menggunakan hak suaranya (golput) di kalangan pemilih muda bahkan mencapai hampir 12% pada Pemilu 2024, ini sebuah indikasi keraguan mereka dalam berpolitik.
Fenomena ini menguatkan pandangan bahwa transparansi digital tidak dengan
sendirinya mampu mengubah sikap dan perilaku korup, yang pada dasarnya merupakan masalah struktural dan kultural. Korupsi, dalam segala wujudnya, bukanlah sekedar kekeliruan teknis, melainkan isu integritas dan mental yang menuntut adanya edukasi nilai moral dan etika yang berkesinambungan. Upaya Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dan pemerintah yang kini memprioritaskan kampanye anti korupsi yang berbasis nilai sejak Pendidikan dini bertujuan untuk membentuk integritas generasi muda sebagai fondasi utama bagi pemberantasan korupsi yang efektif.
Selain itu, integritas generasi Z juga bergantung pada kesadaran kolektif serta
keberanian mereka untuk mengawasi dan mempertanyakan institusi maupun elit politik yang korup. Teknologi digital, pada dasarnya hanya menyediakan ruang dan sarana. Namun, konsistensi dan keberlanjutan sikap anti korupsi harus di bangun melalui Pendidikan, motivasi,
dan keteladanan dari para pemimpin. Dalam konteks Indonesia, praktik-praktik yang seperti resistensi kultural, kolusi, dan nepotisme yang sudah mengakar membutuhkan pendekatan multi dimensi yang tidak dapat diselesaikan hanya dengan teknologi transparansi.
Singkatnya, transparansi digital hadir sebagai sebuah elemen disruptif yang sangat krusial dalam upaya memerangi korupsi, akan tetapi perlu dipahami bahwa ia bukanlah satusatunya jawaban yang komprehensif. Upaya pemberantasan korupsi yang efektif dan berkelanjutan memerlukan partisipasi yang aktif dari generasi Z, yang tidak hanya membangun fondasi integritas di ruang-ruang virtual dan media sosial, tetapi juga secara konsisten mengaplikasikannya di ranah kehidupan yang nyata. Hal ini harus di dukung oleh penguatan pendidikan politik dan moral yang lebihi susbstansisal. Dengan demikian, generasi Z harus di dorong dan difasilitasi untuk bertransformasi dari sekedar konsumen pasif yang hanya menerima informasi digital menjadi agen perubahan yang proaktif. Merekalah yang nantinya akan memiliki kapasitas untuk secara lantang menuntut reformasi structural dan budaya yang esensial, baik di dalam tubuh pemerintahan maupun di tengah Masyarakat luas.