
Jakarta, TeropongJakarta.com – Di bawah terik matahari yang mulai meninggi, Muhammad Edi Suryanto, atau yang lebih dikenal sebagai Kyai Merah, menyelesaikan ritual spiritualnya di kawasan Monumen Nasional (Monas), Jakarta, Jumat, 22 Agustus 2025. Tepat pukul 13.08 WIB, ia menutup putaran ke-80 yang disebutnya sebagai nirakati Indonesia.
Hari itu bukan hari biasa. Jumat Legi yang diyakini banyak kalangan Jawa sebagai “Jumat kramat” dipilih Kyai Merah sebagai momentum penyelesaian laku batinnya. “Ini hari yang saya yakini penuh kekuatan,” ucapnya lirih seusai mengakhiri putaran terakhir.
Ritual 80 kali mengelilingi Monas ini bukan sekadar berjalan kaki. Setiap langkah dipenuhi doa, setiap putaran diliputi niat khusus untuk Indonesia. Kyai Merah menyebutnya sebagai ikhtiar spiritual agar negeri tetap kokoh menghadapi tantangan zaman.
Ia tidak sendirian. Kali ini, ia ditemani sahabat seperguruan, Haji Anang Rahmadi, yang kini dikenal sebagai tokoh masyarakat di Martapura, Kalimantan Selatan. Kebersamaan dua sahabat lama ini memberi warna tersendiri dalam ritual tersebut.
Haji Anang mengaku tergerak untuk hadir setelah mendengar Kyai Merah hendak menutup nirakati di Jakarta. “Saya tidak bisa membiarkan beliau sendirian menanggung beban batin ini. Kami belajar bersama dulu, dan hari ini saya kembali mendampinginya,” katanya.
Prosesi dimulai sejak pukul 10.11 WIB. Putaran demi putaran dijalani Kyai Merah dengan langkah mantap, meski keringat bercucuran. Sejumlah pengunjung Monas sempat berhenti, menatap penasaran, sebelum akhirnya menyadari ada ritual yang sedang dijalani.
Tepat pada putaran ke-80, jam digital di kawasan Monas menunjukkan 13.08 WIB. Kyai Merah pun berhenti, sujud syukur dan memanjatkan doa terakhir. “Semoga Indonesia menjadi mercusuar dunia,” ujarnya sambil menahan haru.
Tidak lupa, doa khusus ia titipkan untuk Presiden Prabowo Subianto agar diberi kesehatan dan kekuatan hingga akhir masa jabatan. “Saya berharap beliau tetap amanah memimpin bangsa ini,” tambahnya.
Bagi Kyai Merah, angka 80 bukan kebetulan. Angka itu ia maknai sebagai simbol keteguhan sekaligus kesempurnaan usaha. “Delapan itu lambang keabadian, nol adalah kehampaan. Keduanya saya gabungkan untuk niat menjaga negeri,” katanya menjelaskan.
Haji Anang menilai langkah sahabatnya adalah bentuk pengabdian dengan jalan yang tak semua orang pahami. “Kyai Merah memilih doa sebagai perjuangan. Meski sunyi, ia yakin getarannya sampai ke seluruh negeri,” ujarnya.
Ketika matahari semakin terik, ritual berakhir dengan sederhana. Tak ada seremoni, tak ada keramaian. Hanya doa yang tertinggal di pelataran Monas, menjadi saksi laku batin seorang Kyai yang percaya bahwa cinta pada tanah air juga bisa diwujudkan melalui jalan spiritual.