
Palembang, TeropongJakarta.com – Pagi itu, kabut masih menggantung di atas Sungai Musi. Di pinggirannya, seorang perempuan tengah menyusun barang ke dalam ransel tuanya. Namanya Mela, perempuan yang memilih jalur hidup tak biasa: menjadi penjelajah, bukan hanya tempat, tapi makna. “Yang saya cari bukan puncak gunung atau garis pantai, tapi suara hati di antara keduanya,” ujarnya pelan.
Lahir dan besar di Palembang, Mela tumbuh di lingkungan yang menyukai kenyamanan. Namun sejak kecil, rasa ingin tahunya menuntunnya membaca buku-buku perjalanan, menatap peta dunia, dan membayangkan hidup yang tak statis. “Saya selalu merasa, dunia terlalu luas untuk dihabiskan hanya di satu titik,” ucapnya sambil tersenyum.
Rasa ingin tahu itu menjelma menjadi kerinduan akan makna. Ia mulai bepergian seorang diri ke pelosok-pelosok Sumatra Selatan, hingga akhirnya menjelajahi daerah-daerah terpencil di Indonesia Timur. Bukan untuk wisata, bukan pula untuk konten media sosial. “Saya ingin menyelami cara hidup orang lain. Memahami dunia dari mata mereka,” katanya.

Tentu tak semua perjalanan indah. Ia pernah kehabisan air di tengah padang sabana, sempat terjebak ombak besar saat menyebrang ke pulau kecil, bahkan tidur di gubuk reyot bersama nelayan tua yang tak ia kenal sebelumnya. Tapi semua itu, kata Mela, membentuknya menjadi manusia yang lebih utuh.
“Saya belajar banyak hal dari kesederhanaan,” ucapnya. Salah satunya, saat tinggal di desa nelayan di Nusa Tenggara Timur selama tiga minggu. Tanpa listrik, tanpa sinyal, tapi penuh tawa dan obrolan hangat setiap malam. “Mereka miskin secara materi, tapi kaya akan kebersamaan.”
Tak sedikit yang menganggap langkah Mela terlalu berani untuk perempuan. Ia kerap ditanya, “Ngapain jauh-jauh, sendirian pula?” Bahkan dari keluarga sendiri, ia harus meyakinkan bahwa ini bukan bentuk pelarian, tapi panggilan hati. “Saya harus berdamai dengan ketakutan mereka dan keyakinan saya sendiri,” katanya.

Untuk menghadapi tantangan, Mela membekali diri dengan ketahanan fisik dan mental. Ia rutin jogging, meditasi, dan membaca kisah-kisah petualang dunia. “Tapi yang paling penting adalah melatih pikiran untuk tetap tenang dalam ketidakpastian,” ujarnya. Dunia luar tidak bisa dikendalikan, tapi respon terhadapnya bisa dilatih.
Di tengah perjalanan, ia mulai menulis. Catatan harian diubah menjadi esai-esai pendek tentang manusia yang ia temui. Mulai dari anak-anak suku pedalaman hingga ibu-ibu yang mengajar di pelosok tanpa bayaran. Tulisan-tulisannya mulai dikutip di media sosial dan forum-forum literasi.
Mela tak ingin disebut pengembara, apalagi pelarian. Ia merasa lebih cocok disebut penjelajah makna. “Saya tidak sedang kabur dari kenyataan, saya justru ingin memeluk lebih banyak kenyataan yang tak terlihat dari kota,” tuturnya.

Kini, Mela juga menjadi mentor bagi komunitas perempuan muda yang ingin berani keluar dari zona nyaman. Lewat diskusi-diskusi kecil dan sesi perjalanan singkat, ia membagikan pengalaman sekaligus keberanian. “Bukan untuk membuat mereka meniru, tapi agar mereka tahu ada pilihan hidup lain.”
Baginya, batasan tak lagi bermakna. “Batas itu konstruksi sosial,” ujarnya. “Dan sebagai perempuan, kita berhak menentukan jalan kita sendiri di darat, di laut, bahkan di ruang-ruang yang dulu terasa mustahil.”
Sungai Musi mulai disinari matahari saat Mela menutup ranselnya. Ia bersiap berangkat ke perjalanan berikutnya. Ke mana pun arahnya, satu hal yang pasti: ia akan melangkah dengan sadar, penuh makna, dan tanpa takut menjadi diri sendiri.