
Bekasi, TeropongJakarta.com – Bagi Eski Milka, perjalanan menemukan kepercayaan diri bukan sekadar urusan menurunkan angka di timbangan. Perempuan yang kini menetap di Bekasi itu pernah hidup dalam lingkaran frustrasi saat berat badannya mencapai 90 kilogram. Ia merasa asing dengan dirinya sendiri.
“Sampai saya benar-benar tidak punya foto sendiri. Selfie saja rasanya malu,” ujar Eski, mengingat masa-masa yang ia sebut sebagai periode paling berat dalam hidupnya. Ia tak pernah menyangka, kesulitan menerima bentuk tubuh bisa memengaruhi harga diri sedalam itu.
Meski tak berdampak signifikan pada relasi sosial karena ia memang lebih banyak di rumah sebagai ibu rumah tangga perasaan terpuruk tetap membayangi. Kegiatan sehari-hari pun diwarnai kegelisahan kecil: mulai dari mencari ukuran baju yang pas, hingga enggan bercermin terlalu lama.
Puncaknya, Eski merasa lelah dengan kondisi itu. Titik balik bermula ketika sang suami mengajaknya ikut berlatih muaythai. “Awalnya saya ragu. Tapi saya pikir, mungkin inilah waktunya mencoba sesuatu yang benar-benar baru,” katanya.
Keputusan itu tidak langsung membawa hasil instan. Proses latihan muaythai kerap membuatnya ingin menyerah. “Jujur saja, capek sekali. Badan rasanya remuk. Tapi saya pikir, kalau tidak sekarang, mau kapan lagi?” ujarnya sambil tersenyum.

Bersamaan dengan rutinitas olahraga, Eski juga mulai menata pola makan. Bukan diet ketat sementara, melainkan kebiasaan yang bisa ia jalani seumur hidup. Ia mengurangi porsi karbohidrat dan membatasi makanan manis, serta lebih sering memasak sendiri di rumah.
“Cheat day waktu itu cuma sebulan sekali. Biar ada jeda, tapi tidak kebablasan,” tuturnya. Prinsip keseimbangan itu menjadi bekal penting, sebab baginya, keberlanjutan lebih penting daripada hasil cepat yang mudah hilang.
Berat badannya perlahan turun ke titik yang ia rasa nyaman. Namun, Eski tak berhenti di situ. Ia memutuskan merawat kebugaran dengan olahraga lari. Pilihan yang semula tampak mustahil ketika tubuhnya masih lebih berat.
“Dulu saya pikir, mana mungkin saya kuat lari. Tapi ternyata setelah turun berat badan, badan lebih ringan, pikiran juga lebih lega,” ungkapnya. Lari pelan-pelan menjadi kebiasaan baru yang ia sukai.

Kini, aktivitas lari bukan hanya sarana menjaga berat badan. Lebih dari itu, menjadi ruang kontemplasi dan bukti kecil bahwa ia bisa berdamai dengan dirinya sendiri. “Saya masih berproses sampai sekarang. Masih belajar untuk lebih fit dan lebih bugar,” katanya.
Eski tak segan berbagi cerita perjuangannya kepada orang-orang terdekat. Ia berharap pengalaman ini bisa menjadi pengingat bagi anak-anaknya kelak: bahwa kesehatan harus diperjuangkan, bukan ditunggu datang dengan sendirinya.
“Terkadang ada sesuatu yang harus dibayar dengan usaha lebih. Untuk sesuatu di masa depan, terutama kesehatan,” pesan Eski, yang kini bertekad menjadikan hidup lebih seimbang, lebih sehat, dan lebih penuh penerimaan.